Pertiwiku tercinta, hari ini aku harus bersuara, meneguk air mata saudara, yang tercecer di sela sebuah rasa marah yang menyala
Ibu, ini di dalam dada, sesak telah menyala, mata sang jendela jiwa menyipit, menetaskan satu realita, saat otoritas atas menyulut duka sang jelata
Di sini aku berdiri, angkat senjata berupa pena dan aksara, dengan marah menggelora jiwa, lihat Ibu, di sudut ruang ber-AC, keadilan menjadi mainan, maka restumu kupinta tuk turun ke jalan
Kali ini bukan hanya marjinal yang dijuangkan, namun air bengawan yang telah menghitam, ikan yang berkeriapan pun harus bertahan dari kepunahan, terpinggirkan untuk Amdal yang tak lagi diperhitungkan
Demi sekelumit untung, untung, untung....bagi siapa?
Sampar ini belum usai, Ibu. Tanah pusara pahlawan medis masih memerah, perjuangan ini tidaklah mudah...kami mengerti, Ibu
Lihat anak-anakmu, Pertiwi!! Berjuang demi harkat dan niat majukan negri, kini berada di ambang nyali yang kian menipis,
Belajar membaca pun sulit, harus menanti ikhlas saudara kami yang terulur bagikan buku bekas, terlebih lagi harus bersaing di bawah intimidasi kapabilitas negri lain yang telah teruji
Ibu, relakan kami berjalan bergandeng tangan lagi, padamu kami mengabdi, lepaskan kami berjuang di jalan untuk berbakti, mengais seberkas peduli, mungkin saja serat-serat harapan kami nyaring terdengar
Restumu, Pertiwiku, tumpangkanlah tanganmu atas kepala, agar marah ini bukan berujung petaka, agar suara parau ini menyembuhkan nurani yang tuli, agar rintih dan doa tulusmu menjadi nyata atas petinggi bangsa yang kini dijabat mantan malaikat
#SoloRayaMenggugat