Wai, wai, wai....
Topik ini...hmm, menguji nyali saya. Beberapa bulan yang lalu saya ingin share pengalaman ini tetapi kemudian saya membuang ide tersebut. Sungguh, bagi saya pribadi menuliskan ini adalah hal yang tidak mudah. Mengingat saya bukan orang yang gampang membagikan apa yang sedang terjadi dalam benak saya.
Well.... anyway, this is me with my own story, hanya ingin berbagi yha, gengz....
Menjadi single parent bukanlah keputusan yang mudah, apalagi menjalaninya. Budaya patriarki melancarkan berbagai aksi miring masyarakat yang membuat saya semakin miris.
Begitu banyak tudingan miring bernada nyaring sering menghiasi kuping. Namun, dengan berjalannya waktu, those noises had gone with the wind...
Menjadi terbiasa ketika harus siap untuk sebuah pertanyaan, "kapan menikah lagi?"
Kesepakatan kami untuk berpisah pada awalnya bukan satu kesepakatan yang bagus. Mengingat kami berdua --saya dan mantan--sama-sama tahu betapa pentingnya keberadaan kami bagi tumbuh kembang anak.
Namun, keputusan tetaplah sebuah keputusan. Setelah sekian lama kami saling berusaha mempertahankan, namun pada akhirnya saya harus menerima keputusan beliau untuk bercerai.
Menjalani kehidupan sendiri bersama dua orang anak bukanlah hal yang gampang. Akan tetapi, bagi saya, kehidupan adalah guru yang hebat. Selain itu, fokus utama saya tetaplah pada buah hati saya. Dua sayap yang mengajak saya terbang tinggi, meninggalkan segala yang telah terjadi.
Sakit hati? Tentu saja ada. Perceraian betul-betul bukan hal yang mudah. Karena banyak pihak yang harus merasakan sakit, bukan hanya kedua pihak suami istri, tetapi lebih dari itu, anak-anak. Jadi, tolong pertimbangkan baik-baik apakah perceraian itu adalah pilihan terbaik bagi pernikahan Anda.
Mengulik dari Pijar Psikologi, bahwa ada kemungkinan bagi mereka yang masih mau memaafkan dan menerima kembali pasangan yang berselingkuh; ketika pasangan ini kembali membina rumah tangganya dengan penuh rasa tanggung jawab, maka hubungan psikologis kedua pribadi suami istri akan semakin sinergis.