Lihat ke Halaman Asli

Ayu Diahastuti

TERVERIFIKASI

an ordinary people

Cerpen: Antara Aku, Kau, dan Diya

Diperbarui: 12 Mei 2020   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Sudut ruangan kamar Ryu dipenuhi dengan tumpukan buku, sebuah PC lawas yang masih menyala, dan kursi empuk berhadapan dengan meja belajarnya.

Malam yang berat baginya. Quotes dari Richard Carlson menghiasi layar lappy lawasnya. Mount Beatitudes terpilih menjadi wallpaper PC dengan sedikit pesan, 'we're only human beeing, not human doing' tak jenuh mengingatkannya untuk beranjak dari kursi belajarnya.

Terdengar suara kentongan yang dipukul berirama di kampungnya telah dua kali berkeliling meronda. Mata Ryu melirik jam bulat berwarna hijau di mejanya. Pukul 00.01 tepat.

Beberapa pesan singkat Devara terlihat memenuhi layar ponselnya. Hanya dilirik sebentar, lalu kembali menatap lappy  di hadapannya.

Selintas keluar dari ruang amigdalanya, wajah Levia, sahabat sebangku, senasip dan sepenanggungan mulai SMP hingga kuliah. Gadis yang begitu cantik, sopan, dan begitu santun gaya bahasanya. Senyum manisnya meruntuhkan hati setiap pria yang mengenalnya. Dan Ryu hanya bisa merasa sebagai bayangannya. 

Selama dengan Via, begitulah ia memanggil sahabat dekatnya, Ryu merasa begitu lemah. Ia merasa tenggelam bila bersama Via. Hidung mancung, kulit lebih cerah, tinggi badan yang lebih dua sentimeter dari Ryu, rambut sebahu Via yang lurus, serta keramahan Via, senyum gadis itu, mata bulatnya, oh, seakan membunuh dunia Ryu. Segera. Dalam sesaat.

Kerap ia melihat Via menerima surat pengajuan cinta dari beberapa teman pria mereka. Surat-surat yang kadang hanya dikumpulkan sahabat cantiknya itu di sebuah kotak kaleng bermotif vintage di bawah laci dekat tempat tidurnya.

Kamar Via sangat berbeda dengan rupa kamarnya saat ini. Di atas laci dekat tempat tidurnya bukan tumpukan surat cinta. Hanya buku Mark Manson si blogger keren dan buku A.A. Mansyur tergeletak di sana.

Tak ada vas bunga atau gambar-gambar vintage ala-ala gadis manis tertempel di dindingnya. Hanya wajah sastrawan pujaannya, Arswendo Atmowiloto yang tersenyum manis, dengan pesan "Aku Gila Menulis" di bagian bawah poster cilik kebanggaannya.

Di sebelah kiri poster Ohm Wendo, tergantung sebuah lukisan timbul bergambar dirinya dengan tulisan plesetan Trilogi Pendidikan, pemberian seorang kawan aktivis Mei 1998. 

Diliriknya tulisan miring Rio, kawan seperjuangannya di jalanan dulu,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline