Hai sahabat, apa kabarmu?
Kuharap, kau baik-baik saja. Ya, di tengah badai Corona yang menghantam tanpa kenal umur, gender, jabatan, kekuasaan, status sosial, agama, ras, suku, bahkan golongan darah kita sekalipun, kuharap semua segera selesai. Sosial distancing dulu, kawan. Jaga jarak.
Bicara tentang jarak, kali ini saya ingin membagi tentang jarak, lebih jauh dari jarak 1 meter yang dianjurkan pemerintah, atau 2 meter seperti saran dari WHO.
Jarak merupakan suatu bentangan ruang yang ada di antara kita. Adakah di antara kita yang pernah atau sedang bermasalah dengan jarak?
Well, ada saatnya jarak harus kita terima apa adanya. Entah kita menginginkannya, atau kita berjerih lelah untuk meniadakannya.
Jarak membuat kita tak nyaman. Seperti saat ini, jarak adalah pilihan yang harus kita ambil agar kita belajar merendahkan hati.
Melepaskan diri dari ego yang sibuk mengejar penghargaan dan keinginan yang lebih cenderung merasa diri benar, dengan menelisik perbedaan pada orang lain sebagai sebuah hambatan untuk dipatahkan.
Kegiatan berkumpul, berelasi, bersosialisasi dengan sesama, dengan kelompok kita, dengan orang-orang yang sama talenta, kegemaran, atau tanggungjawab yang sama merupakan hal yang menyenangkan bukan? Dan untuk saat ini mungkin sedang kita rindukan.
Yang bersekolah, mungkin merindukan setiap sudut bangku tempat belajar, usil, bercanda, bahkan berantem. Hmmm, mungkin bukan kalian yang merasa sebagai siswa saja, yang saat ini merindukan kebersamaan itu. Tapi kami para pengajar pun merindukan suasana sekolah atau pun bangku kuliah bersama kalian.
Jarak ini harus ada, kawan. Jarak yang semesta biarkan ada dan membentang di antara kita. Meski itu hanya sejauh satu depa.
"Tak perlu kuatir. Semua kan selesai dengan online," kelakar seorang yang terhubung dengan saya dalam sebuah roomchat.