Lihat ke Halaman Asli

Ayu Diahastuti

TERVERIFIKASI

an ordinary people

Cerpen | Ode Buat Si Anak Jalanan

Diperbarui: 19 Februari 2020   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Malam menjelang. Langit semakin terlihat kelam tanpa bintang. Perempatan jalan masih diramaikan oleh mobil dan kendaraan roda dua berlalu lalang.

Di ujung perempatan, seorang anak kecil menembus rinai hujan di awal bulan yang kata orang, penuh kasih sayang . Udara terasa begitu dingin. Pecahan air hujan di atas jalanan membuat udara begitu lembab.

Pandangan matanya dengan cepat menelusuri badan jalan selama 20 detik  lampu merah menyala. Bau badan yang tak sedap tercium menyengat hidung. Bau keringat malam bercampur dengan air lembut hujan sang tirai malam.

Sinar mata yang nanar menjelajah angin malam. Suara parau tak terkira enggan membuatnya berhenti dari satu-satunya pekerjaan yang biasa ia lakukan. Menyanyi. Seusai bergulat dengan waktu dalam kisaran detik, anak berbaju kumal itu kembali mencari tempat berteduh.

Badannya terlihat lusuh, dibalut pakaian seadanya, tak kalah lusuh dengan wajahnya. Di antara gemerlap lampu kota, ia menatap kosong setiap mobil yang berhenti di perempatan jalan.

Sebentar-bentar ia meringis menahan sakit. Beberapa lebam di sekujur punggungnya belum hilang. Lebam kena pukul tangan gegabah si pentolan preman yang sering meminta upeti bak pemerintah jaman kolonial Belanda. 

Lebam. Untung lebam. Sakit kepala sisa pentungan masih dirasakannya. Tetapi yaa, untung hanya lebam. Bila saja Bang Yanto tak datang, ia pasti sudah berbentuk mayat.

Sesekali saat lampu perempatan jalan  menyala merah, ia menghampiri sebuah mobil yang dirasa cukup mewah, untuk memberinya sekedar recehan rupiah, dari suara parau yang sebenarnya memang payah.

Usai meluncurkan dendang, ia kembali duduk di trotoar, dengan rokok hasil ngamen siang tadi. Membelinya? Bukan. Buat apa membeli, itu hanya sepuntung rokok yang dibuang begitu saja oleh pemilik lamanya.

"Ameeeeennn!!!" itu bukan suara dari jemaah yang sedang beribadah. Suara serak datang dari lelaki garang, namanya Bang Yanto Budheg, preman pasar yang selalu mangkal di halte bus.

"Iya, Bang," jawab Amen cepat dengan detak jantung yang mulai tak berima lagi, seiring tubuh kecilnya yang gemetaran karena dingin air hujan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline