Mata Ayah yang teduh tiba-tiba berubah merah. Menyala. Tubuhnya terguncang hebat. Namun ia masih tetap melihatku. Menatapku tajam.
"Ayaaaah...." bisikku pelan.
Lagi aku semakin termangu. Ada sesuatu yang muncul di balik badan Ayah. Ada semacam benjolan. Oh, tidak. Benjolan itu kini semakin membesar. Dan, entah dari mana datangnya, di punggung Ayah kini ada sepasang sayap.
Baju Ayah robek. Dalam sekejap Ayah berubah. Seperti seorang peri. Iya. Seorang peri laki-laki yang sangat gagah. Bola matanya yang biru berganti merah menyala.
Rambutnya yang hitam lurus kini berubah memanjang. Hampir sepinggang. Di tangannya ada senjata semacam busur perak? Tali busurnya pun perak. Sedang di belakangnya pun ada beberapa anak panah yang terbuat dari perak.
Baju Ayah berupa baju zirah. Ya, seperti layaknya seseorang yang ada dalam buku dongeng yang seringkali dibacakan Iyem menjelang tidurku waktu malam.
Muncul kilat dari dahi tengah Ayah, sebuah sinar keemasan, membentuk sebuah mahkota di kepalanya. Mahkota berukir yang begitu indah. Tak pernah kulihat seindah itu. Mahkota dari batu kristal, bening, namun begitu indah.
Ia, Ayahku, berdiri di hadapanku yang masih melihatnya dengan berdecak kagum. Baju zirah itu putih. Oh bukan. Warnanya pun mengkilap, seperti perak. Aku hampir tak mengenalinya.
"Thea, jaga putriku baik-baik. Mereka menginginkan aku. Bawa dia ke istana. Sudah tiba waktunya. Seperti telah tertulis dalam buku Zenith," suara Ayahku terdengar begitu berwibawa.
"Baik, Paduka Raja," jawab Iyem.
'Hah, Iyem? Bukan. Ayah tadi bukan menyebut nama Iyem. Ini....apa-apaan?' aku tak pernah habis pikir. Thea. Ya. Tadi Ayah sempat menyebut Thea. Mengapa yang menjawab Iyem.