Hidup ini adalah sebuah pembelajaran. Belajar bagaimana kita mengisi kesempatan demi kesempatan yang coba dihadirkan alam dan lingkungan dalam keseharian kita.
Melihat berbagai macam konflik sosial yang tengah terjadi di Indonesia, menggugah benak saya untuk mendefinisikan kembali arti sebuah rasa harmonis.
Maraknya gejolak aksi sosial yang dipicu oleh isu-isu sosial politik membuat masyarakat kembali tergugah alam sadarnya untuk mencapai titik kesadaran diri. Apakah untuk meresponi kasus-kasus tersebut, atau hanya sekadar ingin menjadi bagian dari kasus itu.
Masyarakat seakan terhegemoni menjadi beberapa kelompok sosial. Tetap konsisten pada pilihannya atau lebih memilih untuk menjadi agen perubahan sesuai dengan arus dinamika konflik sosial yang sedang marak terjadi.
Saya tidak akan menulis terlalu banyak tentang kritik sosial atau isu politik yang sedang merajai langit Indonesia. Sekali-kali tidak. Saya hanya melihat apa yang saat ini sedang terpampang dalam berbagai berita di media sosial.
Melihat hegemoni massa tersebut, saya malah teringat pada sebuah tatanan musik tradisional Jawa. Sekumpulan instrumen atau alat musik Jawa yang banyak kita kenal sebaga gamelan.
Belum ada penjelasan dan literasi pasti mengenai sejarah terciptanya seperangkat instrument gamelan ini.
Pertama kali gamelan dipercaya tercipta hanya terdiri dari satu instrumen saja, yakni gong. Karena gong bila ditabuh hanya menimbulkan satu resonansi suara yang berkumandang, maka diciptakanlah lagi sebuah gong yang menjadi pasangan gong yang pertama.
Seiring dengan keinginan para penikmatnya, maka agar terbentuk suatu harmonisasi suara sebagai pemenuhan kebutuhan akan instrumen pengiring Gending Jawa, maka diciptakanlah sekumpulan instrumen gamelan.
Terdiri dari gong, bonang barung, saron penerus, gender, kethuk, kenong, kendang, kempul, bahkan ditambahkan siter, suling, dan bermacam alat musik lain yang akhirnya jika dimainkan akan membunyikan suatu harmonisasi musik sebagai sebuah alunan simfoni nada-nada pentatonis yang begitu bersahaja.
Bonang barung dan kendang memang bertugas sebagai "bawa", yaitu instrumen yang membuka lagu dan penentu tepatnya ketukan sebuah gending. Jika tidak tepat, maka sinkronisasi lagu atau Gending akan terdengar mengganggu atau bisa saya katakan, lagu atau gending tersebut akan bubrah ( hancur ).