Kartika mengenali mereka. Satu per satu. Para perenggut jiwa manis yang telah berada di balik terali besi bernama bui.
Kisah menyiksa itu menghantuinya seumur hidup. Bahkan sampai hari ini pun ia masih tetap tak berani menatap harap pada manusia bergender laki-laki untuk menemani langkah hidupnya.
Terasa sesak dalam batinnya, mengerti beberapa bulan yang lalu visum dokter menyatakan keperawanannya telah musnah.
Simbol bagi masyarakat dalam tradisi timur yang masih dipegangnya kuat, kini luluh hancur di dalam benak dan angannya.
Tak berani Kartika menatap semua lelaki itu. Di hadapannya, mereka tak ubahnya seperti iblis yang sudah merusak hidupnya.
Mata indah yang dulu memancarkan kehidupan, berbinar menebarkan pesona semangat hidup yang ingin ia bagi kepada setiap orang yang dijumpainya, kini meredup.
Dua hari yang lalu, ibunya menawarkan untuk menghentikan proses hukum atas tiga orang lelaki bejat yang ada di hadapannya kini. Namun usul itu ditolaknya.
Dan kini, ia berhadapan lagi dengan mata-mata dan kaki tangan iblis, yang dulu sempat bertarung dengannya di kegelapan malam, demi mempertaruhkan secuil harga diri dan martabat wanita, di sudut tembok jalan pulang ke rumahnya.
Ya, dua tahun ini, ia tak mampu lupakan malam itu. Malam yang selalu ia kutuki dengan beribu rapal kata-kata puja dan puji pada rasa benci.
Kartika ingat betul kejadian dua tahun yang lalu. Malam kenistaan itu selalu diam bercokol di ingatannya, setelah usai ia menari di suatu gelar budaya.