Lihat ke Halaman Asli

Menyelami Teori Pembanungan dari Pembangunan Diri Sampai Pembangunan Negara

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MENYELAMI TEORI PEMBANGUNAN

DARI PEMBANGUNAN DIRI SAMPAI PEMBANGUNAN NEGARA

Oleh:

Diah Ayu Intan Sari

100910101012

International Relation

Jember University

Mengkaji masalah teori pembangunan, ada baiknya kita terlebih dahulu mengkaji masalah pembangunan karakter yang telah dilakukan oleh manusia. Dimana asal mula dari pembangunan itu dilandasi oleh pembangunan yang telah dilakukan oleh manusia jauh sebelum kata teori pembangunan atau pembangunan itu sendiri ada. Sadar atau tidak manusia telah melakukan pembangunan dirinya berlandaskan pada nilai-nilai yang mereka miliki dan berkembang dalam masyarakat atau kehidupannya.

Nilai-nilai yang dapat digunakan untuk meningkatkan penghargaan kita terhadap diri kita sendiri dalam rangka untuk membangun karakter dalam diri menjadi lebih baik selalu berbeda-beda antara manusia satu dengan manusia lainnya. Untuk itu saya akan lebih menjelaskan nilai-nilai yang membuat saya lebih meningkatkan penghargaan saya terhadap diri saya sendiri karena saya lebih tahu akan hal tersebut. Kemudian setelah mengkaji nilai-nilai yang dapat meningkatkan penghargaan kita terhadap diri kita sendiri, saya akan mengkaji secara mendalam teori pembangunan dan mengkritisi teori pembangunan dengan menggunakan analisa-analisa kritis. Terakhir saya akan memberikan saran untuk kajian dalam mata kuliah Teori Pembangunan.

Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda-beda. Perbedaan yang membawa keindahan dan sepatutnya menjadi kekayaan yang harus dijaga keharmonisannya. Pembangunan karakter dalam diri setiap insan dilandasi oleh nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupannya. Peran dari setiap nilai juga berbeda-beda tergantung dari seberapa intens interaksinya dengan setiap nilai yang ada.

Dalam pengalaman diri saya pribadi, nilai-nilai yang dapat meningkatkan penghargaan terhadap diri saya sendiri terutama berasal dari keluarga saya terutama orang tua saya. Nilai-nilai seperti nilai moral, sopan santun, adat istiadat, unggah ungguh, tata karma dan nilai-nilai tradisi jawa lainnya yang diajarkan kepada saya sejak kecil tertancap dan menjadi memori yang tidak dapat saya lupakan sebagai pedoman dalam setiap langkah yang saya ambil. Kemudian, dari keluarga pula saya diajarkan akan nilai-nilai agama atau religi yang membuat penghargaan terhadap diri saya semakin tinggi. Apresiasi mengenai apa yang telah saya dapat dan apa yang akan saya gapai semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia saya sekaligus pengertian saya terhadap pentingnya nilai-nilai tersebut dalam pembangunan karakter diri saya.

Selanjutnya, setelah beranjak remaja saya semakin menyadari semakin pentingnya nilai-nilai tersebut sebagai pedoman yang harus saya pegang teguh. Pergaulan remaja yang bebas berbenturan dengan diri saya. Saat remaja itu merupakan saat dimana nilai-nilai yang telah saya dapat dari kecil diuji ketangguhannya. Saat remaja itulah saat dimana saya berusaha keras menjaga diri saya agar tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah. Nilai-nilai keagamaan ditambah dengan nilai-nilai yang telah saya dapatkan dari orang tua baik itu nilai moral, sopan santun, tata karma dll tentang betapa pentingnya menghargai diri sendiri agar menjadi orang yang sukses kelak, selalu saya ingat dan menjadi semangat untuk melalui masa remaja dengan selamat. Selain itu, pengaruh dari teman sebaya juga perlu dikaji secara mendalam. Sangat penting memilih teman yang ‘baik’ dalam arti bahwa teman sebaya juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam pembentukan karakter diri.

Saat remaja, orang tua saya selalu memberikan nasehat dan pengertian akan pentingnya mencari teman yang baik bagi perkembangan kepribadian yang baik pula untuk diri saya. Singkat cerita masa remaja dapat saya lalui dengan baik dengan memegang teguh nilai-nilai agama, nilai-nilai dari keluarga (nilai-nilai moral, sopan santun, tata karma, adat istiadat serta tradisi jawa) serta nilai yang saya dapat dari pergaulan bersama sahabat dan teman-teman saya.

Kemudian, ketika masa transisi dari remaja menuju dewasa saat saya mulai memasuki jenjang perguruan tinggi. Peran nilai-nilai tersebut dalam kehidupan saya semakin besar. Setelah lama saya belajar menghargai diri sendiri, saat ini saya berusaha menjadi diri saya sendiri. Saat ini saya masih belajar untuk menjadi pribadi yang dapat menghargai orang lain dan berusaha mengamplikasikan nilai-nilai yang saya pegang teguh tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga kepada orang lain. Saat ini saya masih belajar untuk menjadi pribadi yang baik dengan pedoman nilai-nilai tersebut dan saya masih belajar untuk menjadi manusia yang membangun karakter diri menjadi lebih baik setiap waktu.

Setelah memahami nilai-nilai yang dapat meningkatkan penghargaan kita terhadap diri kita sendiri. Penulis akan mengkritisi teori-teori pembangunan yang telah disampaikan selama setengah semester lalu sebab penulis menyakini bahwa apa yang dikatakan oleh teori-teori pembangunan (teori modernisasi, teori indutrialisasi serta teori pertumbuhan) memiliki sisi-sisi gelap yang justru bukan memberikan efek pembangunan. Sebaliknya memberikan efek negatif yaitu kemiskinan structural yang terjadi di negara-negara yang gagal dalam mengimplementasikan model pembangunan universal ala barat.

Selama setengah semester, saya menempuh mata kuliah teori pembangunan beberapa teori pembangunan yang saya peroleh dari dosen mata kuliah Teori Pembangunan Drs. Agung Purwanto, M.Si antara lain adalah: tiga model teori pembangunan yaitu teori modernisasi, teori industrialisasi, teori pertumbuhan, serta satu teori tambahan sebagai akibat dari kegagalan pembangunan terutama di negara-negara dunia ketiga yaitu teori dependensi. Ditambah beberapa pendekatan untuk mengkaji masalah teori pembangunan yaitu pendekatan radikal serta pendekatan positivis terutama untuk mengalisa pilihan pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara.

Menurut Robert W. Cox, setiap teori yang ada selalu mencerminkan kepentingan tertentu sehingga teori adalah suatu hal yang subjektif.[1] Hal ini juga berlaku terhadap tiga model teori pembangunan. Dimana teori-teori pembangunan yang ada (teori modernisasi, teori indutrialisasi serta teori pertumbuhan) merupakan refleksi kepentingan para elit penguasa dari negara-negara maju untuk meneruskan eksploitasi terhadap negara-negara miskin serta negara berkembang. Tidak hanya itu, keberadaan dari ketiga model pembangunan universal ala barat yang dirumuskan dalam bentuk teori tersebut digunakan untuk memperoleh legitimasi baik dengan menggunakan kekerasan maupun melalaui cara-cara halus (tanpa paksaan atau kekerasan). Kemudian, teori-teori pembangunan tersebut digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi keadaan suatu negara apakah suatu negara tersebut masuk dalam katagori maju, berkembang dan terbelakang. Selanjutnya teori-teori pembangunan universal ala barat tersebut telah menghegemoni masyarakat dalam dunia internasional sehingga banyak dari kita tidak sadar bahwa kita sedang terhegemoni oleh nilai-nilai yang selalu didengungkan oleh negara barat terutama Amerika Serikat. Sehingga sebagai implikasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam teori pembangunan menghasilkan perilaku yang mengganggap bahwa negara-negara barat merupakan negara maju sedangkan kita (Indonesia) adalah negara tidak maju atau belum maju.

Definisi maju yang ada dalam teori pembangunan (teori pertumbuhan, teori indutrialisasi, dan teori modernisasi) telah menjerumuskan negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) serta negara miskin dalam sistem hegemoni yang pada akhirnya menyebabkan mereka menjustifikasi dan membenarkan asumsi-asumsi dari tiga model teori pembangunan tersebut. Dimana kita meyakini bahwa kita belum maju kalau belum menjadi seperti mereka baik dalam hal ekonomi, politik, sosial, budaya dll. Tanpa melihat bahwa kita berbeda dengan mereka. Namun akibat dari hegemoni yang telah tertancap dalam diri kita maka teori pembangunan ala barat merupakan sesuatu yang dapat membuat suatu negara maju. Sehingga negara-negara yang tidak menjalankan pembangunan ala barat kita sebut sebagai negara yang tidak maju atau belum maju.

Teori modernisasi telah membuat degradasi moral yang terjadi di Indonesia misalnya dengan meniru pergaulan ala barat serta model pakaian ala barat sebab kita meyakini bahwa semua ala barat adalah sesuatu yang modern (kita telah terhegemoni). Teori modernisasi yang mengukur moderitas dari seberapa modern masyarakat suatu negara dengan menggunakan parameter modern ala barat (pembangunan universal) telah menyebabkan degradasi moral serta menghilangkan nilai-nilai atau identitas ketimuran yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebab modernitas itu diukur dari perubahan masyarakat yaitu dari fase awal masyarakat bar-bar (tradisional) menuju masyarakat yang modern. Padahal kita (Indonesia) merupakan suatu negara yang kaya yang seharusnya tidak mengukur dan tidak mengikuti ukuran modernitas versi barat tersebut. Indonesia seharusnya memiliki parameter modernitas sendiri sehingga degradasi moral tidak terjadi dan nilai-nilai ketimuran masyarakat Indonesia tetap terjaga dengan baik. Seharusnya kita memiliki idenstitas sendiri dan tidak meniru parameter modern ala barat yang sangat tidak sesuai dengan Indonesia.

Kemudian teori industrialisasi yang mengukur pembangunan serta kemajuan suatu negara berdasarkan pada seberapa industri yang berkembang serta maju di suatu negara. Negara akan dikatakan sebagai negara maju ketika negaranya telah menerapkan industrialisasi di bidang ekonominya. Pembangunan negara dengan model indutrialisasi membawa dampak yang sistemik bagi kerusakan tatanan masyarakat yang telah ada.

Misalnya saja Indonesia, industrialisasi yang terjadi membawa dua dampak yaitu satu sisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia (asumsi teori pembangunan) dan di lain sisi, menyebabkan pengangguran dan masalah-masalah ekonomi lainnya. Namun, yang menjadi penting untuk dikaji adalah dampak baik seperti yang diyakini oleh teori indutrialisasi itu hanya dinikmati oleh beberapa persen dari masyarakat Indonesia (elit penguasa domestik, lokal dan pihak asing) sedangkan penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia sangat besar dan bahkan tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dari industrialisasi tersebut. Sebab rata-rata dari indutrialisasi yang dilakukan oleh Indonesia mendapatkan bantuan atau hutang dari asing yang itu berarti bahwa kita hanya mendapatkan keuntungan minim (itupun hanya dirasakan oleh segelintir orang) dan keuntungan maximal kembali ke pihak asing (pemilik modal atau capital). Sehingga apa yang dikatakan oleh teori industrialisasi sebenarnya memiliki kepentingan terbesar dari para elit penguasa negara-negara barat yang menyatakan dirinya sebagai negara maju.

Contoh kasus-kasus diatas telah membuktikan bahwa teori pembangunan universal ala barat merupakan suatu hal yang seharusnya kita kritisi dan tidak kita terima begitu saja kebenarannya. Walaupun kita juga tidak dapat menutup mata terhadap model pembangunan yang menggunakan salah satu atau ketiga model pembangunan pada pembangunan negaranya namun memiliki hasil yang berbeda. Tidak seperti Indonesia yang gagal dalam pembangunannya, sebaliknya Korea Selatan (Korsel) justru bangkit dari keterpurukannya paska krisis yang melanda pada sekitar tahun 1997-1998 yang kala itu juga melanda Indonesia.

Keberhasilan Korea Selatan dari keterpurukan ekonomi melalui hutang IMF tidak serta merta berasal dari mekanisme LoI yang telah ditandatangani oleh Korsel. Namun, keberhasilan Korsel bangkit juga dibarengi dengan komitmen dari penguasa serta masyarakat Korsel untuk melakukan pembangunan dengan gaya mereka sendiri tanpa meniru total gaya pembangunan ala barat. Terbukti saat ini, Korsel menjadi negara yang berhasil bangkit dari keterpurukan ekonomi masa lalu dengan menggabungkan teori pembangunan barat dengan nilai-nilai masyarakat Korsel menjadikan Korsel menjadi the new emerging countries di kawasan Asia dengan kekuatan ekonominya yang cukup signifikan bersama Jepang dan China. Gaya pembangunan ala Korsel misalnya pembangunan ekonomi Korsel dengan basis industrialisasi kebudayaan yang saat ini telah menjadi Korean wave atau K-Pop, yang telah memberikan keuntungan signifikan bagi perekonomian Korsel. Industrialisasi dengan basis budaya yang dilakukan Korsel merupakan langkah pembangunan ekonomi negara dengan melihat kekuatan serta nilai-nilai budaya Korsel yang kemudian oleh pemerintah Korsel dikemas dalam suatu produk industri budaya yang terbukti sukses menjadikan Korsel salah satu kekuatan yang cukup singnifikan di kawasan Asia.

Sehingga penulis menyarankan untuk mengakaji serta mengkritisi masalah-masalah yang belum dianalisa oleh teori pembangunan (the hidden truth) yang terabaikan dan bahkan tidak tersentuh oleh teori-teori pembangunan terutama masalah kegagalan pembangunan universal ala barat dalam melakukan proyek recovery maupun proyek pembangunan negara-negara di dunia. Kemudian penulis juga menyarakan untuk mengkaji lebih lanjut masalah-masalah mengenai model pembangunan versi negara-negara di dunia terutama negara-negara di Asia yang sukses dalam melakukan pembangunan negaranya tanpa meniru total model pembangunan universal ala barat yang terbukti gagal diimplementasikan di Indonesia.

[1] Disampaikan oleh Dosen Hubungan Internasional Drs. Himawan Bayu Patriadi, Ma, Ph.D dalam mata kuliah Teori Hubungan Internasional II pada tanggal 23 April 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline