Lihat ke Halaman Asli

The Failure of Globalization and Global Poverty

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kegagalan Globalisasi dan Kemiskinan Global
The Failure of Globalization and Global Poverty
by
Diah Ayu Intan Sari
100910101012
International Relation
Abstract
Free trade is a product of globalization, and as a consequence of free trade is the increasing liberalization and privatization of economic sectors in the world. Along with the rapid liberalization of the economy as one that offers a product of globalization for human welfare. but in fact, what has been promised by globalization on human well-being improved in contrast to the fact that happen in the world. Globalization itself is basically just been doing global poverty is assisted by agents of globalization such as the IMF, World Bank, WTO, etc. This paper will prove the hypothesis that globalization is the cause of global poverty and actually increase poverty it self. This paper will prove that globalization and its product such as neo-liberalisme system, de-regulation, etc. are caused global proverty.

Keywords: failure of globalization, human walfare, global proverty, IMF and WB.

1.1 Pendahuluan
Seiring dengan meningkatnya pengaruh globalisasi di dunia yang menyebabkan perdagangan bebas merupakan suatu pilihan yang secara tidak langsung memaksa suatu negara untuk melakukan perdagangan bebas. Ekonomi perdagangan bebas dunia, yang telah menjadi ancaman bagi kesinambungan rakyat miskin serta species lainnya (sebagai taruhannya), bukanlah sekedar efek samping atau merupakan sebuah penyimpangan dari globalisasi tetapi, memang merupakan sebuah cara yang sistematis dimana globalisasi membawa konsekuensi berbeda dari apa yang dijanjikan dengan fakta yang ada. Negara- negara di dunia terutama negara dunia ke tiga seakan tidak mampu melakukan perlawanan terhadap arus globalisasi. Perdagangan bebas menghasilkan peningkatan pada berbagai bentuk privatisasi serta liberalisasi di sektor-sektor ekonomi. Dengan janji untuk mensejahterakan manusia, globalisasi hadir di negara-negara dunia ke tiga lengkap dengan agen-agennya seperti IMF dan World Bank (WB) untuk melakukan penyesuaian stukrural agar negara-negara di dunia ke tiga dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Tetapi sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh IMF dan WB tersebut hanyalah suatu trik untuk semakin membuat negara-negara dunia ke tiga semakin miskin dan terperangkap dalam hubungan ketergantungan yang eksploitatif dan tidak terputuskan. Baik IMF maupun WB melakukan penyesuaian struktural seperti deregulasi, privatisasi dll dengan maksud untuk semakin mengencangkan cengkraman dan ‘menghisap darah’ negara-negara dunia ke tiga.
Fenomena kemiskinan pada hampir di seluruh negara di dunia yang menjadi ‘pasien’ IMF dan World Bank bisa dikatakan sebagai negara yang gagal keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Apa yang di alami oleh Somalia misalnya adalah salah satu contoh dari kegagalan globalisasi dalam mensejahterakan manusia. Kemiskinan yang dialami oleh Somalia berakibat pada ketidakamanan dengan banyaknya penjarahan yang dilakukan oleh para perompak Somalia. Penjarahan ini sebenarnya dilatar belakangi oleh kemiskinan yang ada di Somalia. Pada faktanya, baik PBB maupun organisasi internasional lainnya yang menyatakan dirinya sangat peduli pada keamanan dan pengentasan kemiskinan justru hanya menutup mata terhadap apa yang terjadi Somalia. Tidak dapat dipungkiri bahwa PBB maupun organisasi internasional lain tidak akan melakukan apapun di Somalia sebab Somalia dirasa tidak akan memberikan keuntungan bagi kepentingan-kepentingan ekonomi para kapitalis dunia.
Sangat jelas bahwa apa yang dijanjikan oleh globalisasi mengenai kesejahteraan manusia dan perdamaian tidak mampu dibuktikan di Somalia. Bagaimana PBB dan perangkat organisasi internasional lainnya yang menyatakan sangat peduli akan pengentasan kemiskinan dan kelaparan nyatanya hanya sebagai gedok belaka. Hadirnya IMF dan WB juga hanya sebagai gedok untuk meraup keuntungan dari negara-negara miskin dengan dalih memberikan pinjaman untuk keluar dari jeratan kemiskinan, tetapi pada faktanya, apa yang terjadi di Indonesia misalnya, tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Afrika. Agen-agen globalisasi ekonomi tersebut memberikan resep ekonomi yaitu dengan pemberian hutang bagi negara-negara miskin atau negara yang sedang di landa krisis ekonomi seperti misalnya Indonesia. dari fakta tersebut, kemudian muncul pertanyaan besar bagaimana kegagalan globalisasi itu berakibat pada kemiskinan global? Untuk menjawab pertanyan tersebut, penulis akan menganalisanya dangan pembahan-pembahasan berikut ini.

1.2 Kegagalan Globalisasi dan Munculnya Kemiskinan Global
Sebelum penulis membuktikan kegagalan globalisasi dalam mensejahterakan manusia, penulis akan membuktikan bagaimana sebenarnya para pendukung globalisasi itu sendiri tidak mampu membuktikan bahwa globalisasi telah mensejahterakan manusia terutama apabila dihadapkan pada kenyataan kemiskinan global yang melanda negara-negara di dunia ke tiga seperti di Afrika.
Para pendukung globalisasi pada umumnya mengabaikan kenyataan bahwa globalisasi merupakan penyebab kemiskinan global. Salah satu pendukung globalisasi yaitu Martin Wolf dalam bukunya Globalisasi jalan menuju kesejahteraan menyatakan bahwa globalisasi bukanlah penyebab dari kemiskinan global, ia menambahkan bahwa globalisasi hanyalah sebagai kambing hitam. Wolf meyakini bahwa globalisasi itu tidak pernah menyebabkan kemiskinan global semakin meningkat, ia memberikan sanggahan bahwa sebenarnya ketidak mampuan negara dalam menghadapi globalisasi itulah yang menyebabkan kemiskinan itu terjadi. Wolf menambahkan bahwa negara yang gagal ‘mengendarai’ globalisasi untuk berubah menjadi negara maju merupakan penyebab utama dari kemiskinan yang di alami oleh suatu negara. Selain itu, para pendukung globalisasi menyatakan bahwa globalisasi justru meningkatkan kesejahteraan semua negara lewat proksi perdagangan internasional. Tetapi sekali lagi para pendukung globalisasi tersebut tidak mampu membuktikan bagaimana kesejahteraan negara-negara miskin dan berkembang tidak pernah berada dalam apa yang dijanjikan oleh globalisasi itu sendiri. Kesejahteraan itu jelas hanya berlaku bagi mereka (negara-negara maju) yang memang mendapatkan keuntungan dari globalisasi terutama di bidang ekonomi.
Dalam bukunya Wolf mengabaikan kenyataan bahwa jumlah orang miskin di dua wilayah terkaya di dunia membuktikan ketidaksetaraan global, atau tentang kemiskinan, atau bahkan tentang ketidak seteraan ini di Amerika serikat atau Uni Eropa. Kata-kata Wolf dalam bukunya tersebut semakin membuktikan bahwa sebenarnya dia (Wolf) sebagai pendukung globalisasi juga tidak mampu bahkan tidak bisa membuktikan bagaimana globalisasi tidak menyebabkan kemiskinan, sebab kata-kata Wolf tersebut menjelaskan bagaimana globalisasi itu mengesampingkan kenyataan-kenyataan tentang semakin meningkatnya kemiskinan di dunia sebagai akibat dari semakin pesatnya globalisasi ekonomi.
Salah satu pendukung globalisasi yang lain adalah Sachs dalam bukunya yang berjudul The End of Proverty: How We Can Make it Happen in Our Life yang menyatakan bahwa IMF dan World Bank sebagai organisasi keuangan internasional melakukan banyak perbaikan ekonomi di negara-negara yang miskin seperti Afrika dengan menerapkan Sructural Adjusment Programme dengan dalih untuk menyelamatkan perekonomian Afrika. Dalam bukunya Sachs begitu mengagung-agungkan IMF dan World Bank yang mau menberikan bantuan hutang bagi negara-negara di Afrika. Tetapi pada faktanya, Sachs juga tidak mampu membuktikan bagaimana IMF dan World Bank itu menghilangkan atau memperbaiki kemiskinan di Afrika. Pada faktanya apa yang telah dilakukan oleh IMF dan World Bank hanyalah sebuah gedok untuk menjerat negara-negara miskin kedalam lingkaran setan ketergantungan ekonomi serta ekploitasi bagi keuntungan para donator IMF maupun Wold Bank. Pada dasarnya baik IMF maupun World Bank tidak akan membiarkan negara yang menjadi nasabahnya keluar dari jeratan hutang. Sebab kalau sampai IMF dan World Bank tidak memiliki nasabah maka dapat dipastikan mereka akan mengalami kerugian besar. Oleh sebab itu pada kenyataannya kedua organisasi tersebut secara aktif terus melakukan inovasi baru dengan gedok perbaikan ekonomi atau program pembangunan yang semuanya ditujukan bagi terciptanya ketergantungan abadi sehingga negara-negara nasabahnya susah keluar dari cengkraman hutang IMF maupun World Bank.
Pada umumnya, kemiskinan pada negara-negara dunia ke tiga salah satunya disebabkan oleh liberalisasi perdagangan bebas sebagai konsekuensi logis dari globalisasi ekonomi yang dilakukan oleh World Trade Organization atau WTO serta kebijakan ekonomi yang ‘dipaksakan’ untuk diterapkan pada negara-negara dunia ke tiga oleh lembaga keuangan dunia seperti WB (World Bank) dan IMF (International Monetery Fund) seperti yang penulis jelaskan sebelumnya. Penulis akan mulai menjelaskan bagaimana globalisasi telah gagal memenuhi janjinya untuk mensejahterakan manusia berangkat dari pemaparan Chossudovsky dalam bukunya yang berjudul Kemiskinan Global di akhir abad 21 (buku terjemahan oleh Bernd Hamn: 2006) menyatakan bahwa perekonomian pasar bebas yang di usung oleh neo-liberalisme menghalalkan segala cara dalam menjalankan program ‘sabotase atau monopoli perdagangan internasional’ dengan gedok mensejahterakan manusia. Dalam bukunya, Chossudovsky mampu membuktikan bagaimana hubungan dari globalisasi ekonomi yang mengusung neo-liberalisme dalam perdagangan internasional saat ini sebenarnya dipengaruhi oleh masa lalu yang dimulai sejak krisis ekonomi pada era tahun 1980an. Analisis Chossudovsky tentang masa lalu dan masa kini dalam kaitannya dengan utang, globalisasi dan pendanaan internasional menunjukkan adanya hubungan dengan kemiskinan global yang terjadi di dunia.
Lembaga keuangan dunia (IMF, WB, dll) yang memiskinkan negara miskin dan berkembang dengan kedok kapitalisme dan kebebasan yaitu melalui mekanisme pasar bebas serta produk kebijakan ekonomi lainnya yang intinya adalah untuk mendukung neo-liberalisme itu sendiri. Selain itu, rekayasa data statistik yang dilakukan oleh IMF dan World Bank yang secara sengaja memaksa negara-negara di dunia yang tidak tahu tentang spekulasi lembaga keuangan tersebut dan begitu saja percaya dengan data statistik dari lembaga keuangan dunia yang berakibat pada penyesuaian besar-besaran yaitu dengan mengikuti program-program penyesuaian stuktural termasuk melakukan mekanisme pasar bebas yang ‘terpaksa dilakukan’.
Dalam prakteknya, WB telah melakukan manipulasi data statistik yang dilakukan yaitu mengenai data statistik tentang jumlah negara yang sangat miskin yang digunakan untuk melayani kepentingan negara-negara dunia ke tiga. WB dalam laporan statistiknya ‘memperkirakan’ bahwa 18 persen dari dunia ketiga adalah ‘sangat miskin’ dan 33 persen adalah ‘miskin’. Dalam data statistik Bank Dunia garis kemiskinan global secara sewenang-wenang ditetapkan pada pendapatan per kapita sebesar US $ 1 per hari. Sedangkan yang berpendapatan diatas US $ 1 per hari dianggap sebagai ‘tidak miskin’. Tetapi data statistik Bank Dunia tersebut tidak memiliki dasar yang rasional sekaligus tidak sesuai dengan fakta yang ada bila dihadapkan pada fakta bahwa rata-rata penduduk yang bahkan pendapatan perkapitanya di atas satu dollar perhari tetapi tetap dikatakan sebagai ‘miskin’. Hal ini bisa terlihat pada kelompok populasi atau masyarakat di negara berkembang yang meskipun memiliki pendapatan per kapita 2,3 atau bahkan 5 dolar per hari tetap dikategorikan miskin (karena mereka tidak dapat memenuhi pengeluaran dasar pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan).
Lebih lanjut, globalisasi ekonomi (noe-liberalisme) pada negara-negara berkembang menyebabkan negara berkembang memiliki beban hutang yang terus meningkat secara signifikan. Jumlahnya pada tahun 1970 berkisar 62 milyar dolar Amerika, kemudian meningkat tujuh kali lipat pada tahun 1980 menjadi 481 milyar dolar Amerika lalu pada tahun 1998 jumlah utang ini meningkat 32 kali lipat menyentuh angka 2 trilyun dolar Amerika. Hal ini terjadi karena lembaga-lembaga pendanaan internasional seperti IMF dan WB berusaha terus untuk mengelola utang-utang tersebut yang ditujukan untuk mengarahkan agar negara-negara peminjam secara formal terus berada dalam jeratan utang. Melalui berbagai macam rekayasa sistem keuangan di atas dan pengelolaan utang, pembayaran hutang memang sengaja dirancang untuk ditangguhkan kemudian secara paksa menawarkan sistem-sistem pembayaran baru yang dibuat secara menarik. Strategi untuk tetap menjerat negara-negara berkembang dengan utang adalah untuk menghalangi negara-negara tersebut membuat kebijakan ekonomi yang mandiri. Dan pada umumnya, jika negara-negara berkembang tersebut tidak mau menerima kebijakan tawaran keuangan maka dapat dipastikan negara tersebut akan menghadapi masalah yang sulit dalam melunasi hutangnya atau memperoleh pinjaman baru serta tidak akan memperoleh bantuan internasional. Selain itu negara tersebut pun akan dimasukkan dalam daftar hitam negara yang tidak patuh terhadap aturan dari lembaga-lembaga tersebut. Lingkaran setan jeratan hutan dari lembaga keuangan dunia (IMF, WB dll) merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kemiskinan menjadi suatu hal yang langgeng. Sebab negara-negara nasabah IMF dan WB memang sudah terjebak dalam kondisi dimana dia tidak dapat bergerak dan terus berada dalam kemiskinan.
Setiap bangsa yang menderita, dipaksa harus bertahan sampai mereka menerima ‘manfaat’ dari globalisasi yang pada faktanya hanya kemiskinanitu sendiri. Agen-agen globalisasi ini terus memaksa negara-negara nasabahnya untuk melakukan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan bagi agen globalisasi itu sendiri. Selain itu, kebijakan dari lembaga keuangan dunia tersebut pada umumnya adalah menghilangkan pembatasan investasi asing, dan melakukan privatisasi besar-besaran pada fasilitas bersama milik negara seperti BUMN misalnya untuk kasus di Indonesia. Kemudian, penyesuaian mata uang lokal suatu negara yang harus disesuaikan dengan dolar Amerika, juga memiliki dampak spiral inflasi yang sangat intens. Hasilnya, rakyat tingkat bawah mengalami tekanan yang meningkat, termarjinalkan atau dilanda kelaparan serta tidak berdaya. Pada akhirnya kerusuhan sipil menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari lagi, karena hal tersebut bukanlah pilihan. Semua kekacauan itu berawal dari masuknya agen-agen globalisasi yang hanya ingin menghancurkan sistem yang ada di suatu negara dan menggantinya dengan sistem ekonomi noe-liberal dimana agen-agen globalisasi tersebut secara nyata telah mengabaikan kemunduran peradaban dunia dibuktikan dengan semakin banyaknya kelaparan dan kemiskinan di dunia ini. Tidak ada lagi moral atau etika internasional yang dapat mengatur bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan manusia lain. Fenomena kelaparan dan kemiskinan justru dijadikan pangsa pasar bagi agen-agen globalisasi untuk semakin mengeruk keuntungan dari ketidakberdayaan negara-negara yang sedang ‘sakit’. Sebagai titik kulminasi dari masalah tersebut, globalisasi ekonomi benar-benar tidak mampu membuktikan bagaimana kesejahteraan bersama dapat diwujudkan.
2.2 Pembuktian dari Kemiskinan Global akibat Kegagalan Globalisasi : sebuah studi kasus
Pada kenyataannya, pasar bebas sebagai produk dari globalisasi ekonomi justru identik dengan kemiskinan manusia, kerusakan alam dan lingkungan, apartheid (Afrika), rasisme dan perselisihan antar etnis, mengabaikan hak-hak perempuan, dis-lokasi ekonomi, pemindahan paksa/penggusuran dan pengungsian, petani gurem, pabrik harus ditutup akibat bangkrut dan kehilangan pekerjaan yang menyebabkan pengangguran. Penulis mengambil studi kasus di berbagai negara yang dapat mewakili dan membuktikan bahwa kemiskinan global merupakan akibat dari globalisasi ekonomi yang berakibat pada munculnya berbagai masalah baru yang semakin kompleks sebagai akibat dari kemiskinan atau pemiskinan yang dilakukan oleh agen-agen globalisasi seperti World Bank, IMF, WTO dll yang menyebabkan negara-negara dalam studi kasus di bawah ini semakin terjerat dalam lingkaran kemiskinan.

a. Studi kasus kemiskinan di Somalia
Adanya perdagangan bebas sebagai produk dari globalisasi itu sendiri telah mengakibatkan perubahan pada struktur sosial seluruh perekonomian tradisional di Somalia yang pada mulanya berbasis pada pertanian pedesaan serta peternakan nomaden perlahan-lahan ‘dihancurkan’ dengan berbagai kebijakan IMF dan WB. Masuknya IMF dan WB di Somalia tersebut terlihat dengan program ekonomi yang menganti perekonomian trasional menjadi perekonomian pasar bebas yang berakibat pada bangkrutnya sektor pertanian dan pernakan di Somalia. Seiring dengan diberlakukannya kebijakan IMF dan WB tersebut maka mulai masuklah produk-produk peternakan seperti daging sapi bebas bea serta produk susu dari Uni Eropa. Hal ini menyebabkan penggembala nomaden di Somalia menjadi kelaparan dan menderita kemiskinan. Program IMF dan Bank Dunia yang telah menyebabkan ekonomi masyarakat Somalia masuk ke dalam lingkaran setan kemiskinan. Dalam hal ini, baik IMF dan World Bank justru memanfaatkan masalah di Somalia tersebut sebagai produk yang diperjualbelikan, dimana IMF maupun WB dengan sengaja melakukan pemiskinan di Somalia yang memicu meningkatnya aksi bajak laut di Perairan Somalia yang menyebabkan ketidakamanan (insecurity) internasional.

b. Konflik etnis di Rwanda sebagai akibat dari kemiskinan.
Restrukturisasi sistem pertanian yang dilakukan dibawah pengawasan IMF dan Bank Dunia menyebabkan penduduk Rwanda menjadi miskin. Jatuhnya harga kopi di Rwanda menimbulkan kerusakan ekonomi yang sangat parah sehingga memicu ketegangan antar etnis suku Hutu dan Tutsi yang mengarah pada genosida/pembunuhan etnis. Pada faktanya masalah globalisasi ekonomi di suatu negara tidak lagi berkutat pada kegagalan pembangunan saja tetapi dari kasus di Rwanda tersebut, jatuhnya komoditas kopi sebagai komoditas andalan menyebabkan kondisi ekonomi di Rwanda semakin memanas. Adanya kelompok-kelompok etnis atau kelompok kepentingan yang ada di Rwanda yang sejak awal cenderung berkonflik menjadi memakin tidak akur akibat masalah ekonomi atau kemiskinan. Pada kenyataannya tidak hanya di Rwanda saja yang mengalami masalah konflik akibat masalah kemiskinan ekonomi tersebut, pada contoh negara sebelumnya yaitu Somalia. Kemiskinan juga menjadi pemicu munculnya perompak di negara ini, sebab negara sudah tidak mampu lagi untuk mensejahterakan atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Sebagai suatu hal yang rasional kemudian jika rakyat berebut untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya untuk tetap bertahan hidup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa globalisasi ekonomi di Rwanda telah berakibat pada miskinnya penduduk di negara ini.
c. Sub-Sahara Afrika
Pada tahun 1990an terjadi kelaparan yang ekstrim sebagai akibat dari kemiskinan di wilayah Sub-Sahara Afrika. Hal ini salah satunya diakibatkan oleh adanya ekspor apartheid yang dilakukan di sepanjang bagian selatan benua Afrika mulai dari Angola sampai Mozambique melalui penguasaan atas lahan oleh The Boers (tuan tanah kulit putih) yang dijadikan lahan pertanian komersil dan eko-wisata. Monopoli lahan tersebut mendapatkan dukungan dari Bank Dunia dan WTO sehingga masyarakat lokal justru kehilangan hak atas kepemilikan lahan dan menjadi buruh tani diatas tanahnya sendiri. Dukungan yang diberikan oleh Bank Dunia dan WTO tersebut merupakan satu hal yang memiliki peran signifikan yang bertanggungjawa atas kemiskinan yang terjadi di Sub Sahara Afrika, dimana penduduk pribumi sebagai pemilik lahan justru di eksploitasi dan menderita sekaligus dimiskinkan oleh mekanisme program dari Bank Dunia dan diperparah dengan pemiskinan yang dilakukan oleh WTO dalam mekanisme perdagangan bebas.

d. Ethiopia
Program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Programme/SAP) dari IMF dan Bank Dunia. SAP dari IMF dan WB tersebut berisi pemotongan anggaran sosial bagi rakyat Ethiopia terutama dibidang pendidikan dan kesehatan. Dampak dari diberlakukannya SAP tersebut adalah terjadinya kelaparan di Ethiopia. Pada akhirnya Ethiopia yang pada awal masuknya dana IMF dan WBmemang sudah miskin menjadi semakin miskin dengan adanya program-program dari IMF dan WB yang semuanya berisi pada penyesuaian structural dengan melakukan pemangkasan besar-besaran pada anggaran di bidang sosial yang berakibat pada semakin kemiskinan.

e. Indonesia
Pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia 1997-1998, Indonesia menjadi nasabah IMF dengan mulai menjalankan program-program ekonomi dari IMF. Program ekonomi di era orde baru, yang lebih berfokus pada peningkatan ekonomi nasional dan lebih mengesampingkan pemerataan atau distribusi sosial. Sebagai konsekuensi logis dari pembangunan di orde baru dari IMF yaitu meningkatnya jurang kemiskinan di masyarakat, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Sebab peningkatan ekonomi nasional itu hanya dinikmati oleh segelintir orang atau kelompok elit pengusaha, dan dampak dari tidak adanya distribusi pendapatan yang merata adalah kesenjangan pendapat yang sangat tinggi. Selain itu, masuknya IMF di Indonesia mengharuskan pemerintah Indonesia menghapus subsidi untuk beras dan BBM bagi kaum miskin di Indonesia pada tahun 1998. Akibat dari penerapan kebijakan tersebut, maka banyak terjadi kerusuhan dan konflik di dalam negeri. Pemerintah Indonesia juga tidak mampu berbuat banyak sebab Indonesia terikat kontrak akibat pinjaman Indonesia dari IMF tersebut. Sehingga globalisasi di pandang telah gagal dalam mencapai tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan dan menghapuskan kemiskinan di Indonesia.

2.3 Kesimpulan dan Opini
Globalisasi saat ini dihadapkan pada fenomena dimana kemiskinan dan kelaparan yang terjadi menuntut suatu bukti dari janji-janji globalisasi akan peningkatan kesejahteraan manusia. tetapi pada faktanya semakin banyak negara-negara yang terjebak dalam lingkaran setan dari efek globalisasi tersebut. Pemberlakuan noe-liberalisme dalam mekanisme perdagangan bebas semakin mencekik negara-negara miskin dan berkembang yang berakhir pada jeratan hutang agen-agen globalisasi seperti IMF dan World Bank. Negara-negara tersebut semakin tidak berdaya akibat jeratan hutang abadi yang secara sengaja dibuat oleh lembaga keuangan internasional agar mereka tetap mendapatkan keuntungan dari negara berkembang dan negara miskin.
Pada akhirnya kemiskinan global yang terjadi di dunia telah membuktikan bagaimana globalisasi telah gagal mensejahterakan manusia. Pada kenyataannya globalisasi justru membuat negara-negara miskin semakin miskin dan terbelenggu dalam hubungan eksploitatif yang menyebabkan kemiskinan global semakin parah. Etika dalam hubungan internasionalpun sepertinya tidak lagi menjadi sesuatu yang penting ketika dihadapkan pada usaha untuk mencapai keuntungan meskipun keuntungan yang diperoleh tersebut didapat dari ‘memeras’ negara miskin atau bahkan ‘membunuh’ negara-negara lain.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Sjamsul Arifin,Dian Ediana Rae,Charles P. R.. Joseph., Kerja sama perdagangan Internasional: peluang dan tantangan bagi Indonesia, a book pdf.
Martin Wolf, GLOBALISASI Jalan Menuju Kesejahteraan, penerjemah: Samsudin Berlian, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hal 166.
Jeffrey Sachs, The End of Proverty: How We Can Make it Happen in Our Life, New York: Pinguin Press, 2005
Masyuri, Kemiskinan dan Pemiskinan Global : sebuah tinjauan teoritis, a journal in pdf

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline