Lihat ke Halaman Asli

Diah Fitri Patriani

Muslimah Pemerhati Umat

"Bara dalam Sekam" Kebijakan Tapera

Diperbarui: 14 Juni 2024   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: Diah

Kisruh kebijakan Tapera yang mendapat banyak penolakan dari rakyatnya menjadi keprihatinan penulis hingga merasa perlu ikut memberikan pemikiran dan perhatian dalam isu tersebut. Bagi penulis kebijakan Tapera seperti dalam peribahasa 'bara dalam sekam'. Tapera dan berbagai kebijakan serupa yang dikeluarkan pemerintah tidak lebih adalah sebuah kedzaliman yang dibalut dalam propagandanya sebagai tabungan bersama, tabungan hari tua dan sebagainya. Sekali lagi rakyat harus menjadi korban para penguasa yang haus akan kekuasaan.

Betapa tidak, kebijakan ini memaksa setiap pekerja di Indonesia untuk dipotong gajinya sebesar 3% setiap bulan dengan dalih sebagai tabungan untuk memenuhi kebutuhan mendasar berupa perumahan. Potongan gaji semakin berakumulasi belum lagi masih dibebani sejumlah kewajiban iuran lainnya, seperti PPH 21 sebesar 5—35% sesuai penghasilan pekerja, BPJS Ketenagakerjaan (JHT) sebesar 5,7% yang ditanggung perusahaan 3,7% dan pekerja 2%. Belum lagi BPJS Kesehatan dengan besar potongan 5% dengan tanggungan perusahaan 4% dan pekerja 1%, serta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).

Dengan ditandatanganinya PP No. 21/2024 yang mengatur tentang perubahan atas PP No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2024 oleh Presiden Jokowi. Maka semakin jelas betapa dzalim penguasa hari ini terhadap rakyatnya. Apa saja kedzaliman yang tercakup didalamnya.

1. Pemalakan Sistemik

Kebijakan Tapera tidak lain adalah kebijakan dzalim yang memalak rakyatnya sendiri dengan dalih tabungan bersifat wajib atas semua pekerja di Indonesia yang menerima gaji minimal setara UMR, bahkan bagi pekerja yang sudah memiliki rumah sekalipun. Demikian pula bagi yang masih mencicil rumah, tetap wajib setor Tapera.

Sanksi administratif pun akan dikenakan bagi peserta yang tidak melakukan pembayaran, baik kepada pekerja maupun pemberi kerja. Mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan izin usaha bagi pemberi kerja.

Sudah bisa ditebak bagaiamana akhir cerita dari kebijakan ini, birokrasi rumit akan dihadapi peserta dalam proses pencairan tabungan tersebut. Peserta pada akhirnya akan kesulitan menarik tabungan yang telah disetorkan, karena harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar tabungan bisa ditarik. Misalnya, peserta meninggal dunia, telah pensiun atau telah berusia 58 tahun, atau tidak lagi memenuhi kriteria sebagai peserta selama 5 (lima) tahun berturut-turut yang artinya peserta harus menganggur sekian lama barulah tabungannya bisa diambil.

2. Terjebak  Riba

Ada kejahatan yang lebih mengerikan terselubung dalam kebijakan tapera ini yaitu dosa riba. Targetnya adalah memberikan pinjaman kredit rumah hanya untuk MBR yang berpenghasilan maksimal Rp8 juta dan minimal harus sudah menjadi peserta selama 12 bulan. Itu pun masih harus memenuhi syarat-syarat yang bisa dikatakan memberatkan MBR, seperti pengembalian pinjaman disertai bunganya.

Sudahlah rakyat hidup d dunia terdzalimi oleh para penguasanya yang korup karena menerapkan sistem yang bobrok, kelak di akhirat pun masih harus mempertanggungjawabkan dosa ribanya di hadapan Allah SWT.

3. Daya Beli Masyarakat yang Semakin Lemah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline