Berulangnya kasus kebocoran data pribadi yang akhir-akhir ini semakin sering terjadi dan memakan banyak korban dikalangan masyarakat umum menarik keprihatinan berbagai pihak. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat ada dugaan pelanggaran hukum dari pengungkapan atau kebocoran 668 juta data pribadi.
Dirilis dari Katadata (28/1/24) Beberapa dugaan kebocoran yang disinggung ELSAM antara lain: 1. Dugaan kebocoran 44 juta data pribadi dari aplikasi MyPertamina pada November 2022. 2. Dugaan kebocoran 15 juta data dari insiden BSI pada Mei 2023. 3. Dugaan kebocoran 35,9 juta data dari MyIndihome pada Juni 2023. 4. Dugaan kebocoran 34,9 juta data dari Direktorat Jenderal Imigrasi pada Juli 2023. 5. Dugaan kebocoran 337 juta data Kementerian Dalam Negeri pada Juli 2023. 6. Dugaan kebocoran 252 juta data dari sistem informasi daftar pemilih di Komisi Pemilihan Umum pada November 2023.
Masifnya kebocoran data pribadi masyarakat ini semakin mengindikasikan bahwa negara tidak memiliki perhatian serius dan kesiapan yang mempuni dalam hal pengendalian data yang berasal dari badan publik. Khususnya digitalisasi dalam rangka transformasi pelayanan publik di dalam institusi pemerintah yang tidak dibarengi langkah-langkah pengamanan dalam pemrosesan data.
Kritik Terhadap Lemahnya Cybersecurity di Indonesia sebagai berikut:
Pertama, Kesalahan dalam pemberlakukan UU PDP. Pemerintah menyatakan UU ini berlaku dua tahun setelah diundangkan yakni 2024. Pada kenyataannya UU ini langsung berlaku saat diundangkan pada 17 Oktober 2022. Nampak bahwa pemerintah setengah hati dalam menangani masalah kebocoran data dan cybersecurity sehingga sampai saat ini tidak pernah teratasi dan terealisasi. Terkesan grusa grusu, program jalan dulu perangkat hukum mengikuti kemudian.
Kedua, Personil cyber police Indonesia hanya beranggotakan 58 anggota (e-jurnal Untar). tentunya tidak sepadan dengan laporan kasus yang masuk di kepolisian. Laporan Kasus yang masuk dalam catatan kepolisian pada 2020-2021 saja perbulan mencapai 5000 aduan.
Ketiga, Citra pemerintah dan aparat kepolisian yang korup dari banyaknya kasus-kasus hukum yang mencuat di publik membuat masyarakat kurang percaya terhadap kinerja pemerintah dan apparat kepolisian RI hari ini. Keduanya seperti pinang dibelah dua.
Keempat, Teknologi Informasi dan komunikasi (TIK) tidak dilihat oleh pemerintah sebagai sebuah kedaulatan negara dimana didalamnya terdapat potensi data-data strategis yang seharusnya dilindungi oleh negara. Sehingga dalam pengelolaannya termasuk dalam mengatasi minimnya tenaga ahli di bidang TIK dan terbatasnya sarana prasarana dalam menunjang keamanan jaringan dan pelacakan pelaku cyber crime dan perlindungan data sepenuhnya diurusi negara tidak melibatkan pihak asing. Faktanya dirilis dari Kominfo Selasa (30/01/2024). Melalui Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi erja menyatakan Indonesia dan Finlandia akan membahas kerja sama mengenai infrastruktur digital.
Kelima, Teknologi Informasi dan Komunikasi oleh pemerintah tidak dipandang sebagai aset yang harus dijaga kerahasiaan datanya terutama kepada negara lain. Faktanya Indonesia malah menjual ke negara tetangga. Seperti penjualan aset BUMN Indosat tahun 2002 adalah contoh bagaimana negara tidak menganggap sektor TIK sebagai aset negara. Padahal saat itu indosat adalah BUMN yang terhitung menguntungkan dijual seharga 5,6 triliyun pada tahun 2002 kepada perusahaan SP Telemedia Singapura. Lima tahun kemudian SP Telemedia meraup keuntungan berkali lipat setelah menjual seluruh saham Indosat dari Indonesia kepada Qatar Telecom Q.S.C.
Kapitalisme akar masalah