Allah menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan dengan sepadan atau sederajat. Manusia diciptakan Allah untuk saling mengenal, melayani, mengasihi, dan hidup berpasang-pasangan. Ketika telah saling melengkapi dan saling menghargai, manusia dapat beribadah kepada Allah dengan memberikan keturunan melalui pernikahan. Menikah merupakan sunnah Nabi yang diikuti oleh para pengikutnya hingga saat ini, karena menikah merupakan bagian dari dimensi kehidupan yang bernilai ibadah
Dalam Pasal 1 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sepasang insan yang menikah pasti memiliki tujuan untuk memiliki keturunan sebagai penerus keluarga mereka.
Pernikahan merupakan penyebab halalnya seseorang dalam melakukan hubungan antara lawan jenis. Namun, banyak di kalangan masyarakat yang melakukan hubungan suami istri sebelum menikah. Diakui atau tidak, saat ini banyak ditemui remaja yang hamil di luar nikah. Hamil di luar nikah dianggap sebagai aib dalam keluarga, dengan demikian wanita yang hamil harus segera dinikahkan untuk menutupi aibnya. Baik perkawinan itu dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.
Hukum Menikahi Wanita Hamil
Perlu diketahui bahwa sah pernikahan seseorang yang menikah atau menjalankan ijab kabul dalam keadaan hamil. Dalam hal ini KUA (Kantor Urusan Agama) berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam atau disebut juga Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991.
Menurut Kompilasi Hukum Islam
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut:
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Menurut Pendapat beberapa Madzhab
- Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina dibolehkan bagi yang telah menghamilinya maupun bagi orang lain. Adapun jika melangsungkan pernikahan, maka nikahnya tetap sah. Dalam pandangan madzhab ini, wanita yang zina itu tidak mempunyai iddah.
- Madzhab Maliki berpendapat tidak sah perkawinannya kecuali dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya dan harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih dahulu.
- Madzhab Hanafiyyah berpendapat:
Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh di kumpuli kecuali sudah melahirkan.
Boleh nikah dengan orang lain asal sudah melahirkan.
Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibro' (masa menunggu bagi seorang wanita setelah mengandung).
Pernikahan tetap sah, baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak.
Pendapat yang mengharamkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anak orang lain adalah untuk menghindari kerancauan nasab anak yang sedang dikandung.
Jadi kesimpulannya, menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, haram hukumnya jika seorang laki-laki menikahi wanita yang sedang mengandung anak dari orang lain. Adapun bila wanita yang hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya di luar nikah, maka hukumnya boleh. Sedangkan jika mengacu pada Kompilasi Hukum Islam, seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya.