Lihat ke Halaman Asli

Rahmadhona

International Affairs Graduate

Kekerasan Seksual sebagai Senjata Perang

Diperbarui: 26 Mei 2019   03:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: dw.com/REUTERS/D. Sagoli

Kasus perkosaan terhadap perempuan di daerah konflik bukanlah isu yang baru. Perkosaan telah digunakan berkali-kali sebagai taktik atau senjata dalam perang. Perkosaan merupakan bagian dari kekerasan berdasarkan gender atau yang lebih dikenal dengan Gender Based Violance (GBV), namun GBV mencakup lebih luas tidak hanya berkaitan dengan perkosaan.

Perang dan GBV memiliki keterkaitan yang erat. Dimana perempuan seringkali menjadi korban dalam jumlah besar. Perang seringkali memberikan efek buruk bagi rakyat sipil, terutama perempuan. Meskipun pada dasarnya baik perempuan maupun laki-laki memiliki potensi yang sama menjadi korban, namun mereka mengalaminya dalam bentuk yang berbeda.

Laki-laki umumnya dipaksa untuk pergi berperang dan terbunuh dalam aksi senjata, sementara perempuan mengalami kekerasan seksual, pemaksaan kehamilan, penculikan, perkosaan, perbudakan seksual dan pemaksaan prostitusi.

Sebagai senjata perang, perkosaan digunakan secara strategis dan taktis untuk menaklukan, mengusir atau mengendalikan wanita dan komunitas mereka. Sebagai bentuk penyiksaan yang digunakan untuk mengumpulkan informasi, menghukum, mengintimidasi dan mempermalukan lawannya.

Kejahatan seksual yang terjadi ketika perang seringkali dijadikan alat negosiasi internasional antara pihak yang menang dan yang kalah ketika perang selesai. GBV dan perkosaan massal yang terjadi di negara-negara konflik dapat dikaitkan dengan kajian keamanan dimana perkosaan digunakan sebagai senjata perang melawan negara lain dan perempuan secara keseluruhan.

Kekerasan seksual dan perkosaan pada masa perang pada dasarnya tidak hanya menyerang seseorang saja tetapi juga satu komunitas. Oleh karena itu, seringkali dikatakan perkosaan sebagai alat dan senjata pada saat perang.

Contohnya, seperti yang terjadi di Republik Demokrasi Kongo, kelompok-kelompok bersenjata berpindah dari satu desa ke desa lain dan melakukan perkosaan massal dimana lebih dari 300 orang menjadi korban.

Memang tidak terjadi pembunuhan, namun cara ini terbukti memberikan teror yang tinggi dan untuk menujukkan kekuasaan dan kekuatan. Saat ini, GBV tidak lagi hanya masalah kemanusiaan semata tetapi menyangkut masalah keamanan juga dan menjadi High Political Issues.

Menemukan cara untuk membantu para korban 'forced pregnancy' memang tidak mudah. Strategi 'forcibly impregnating women' adalah sebagian dari taktik melakukan pembersihan etnis yang terjadi dalam konflik-konflik beberapa puluh tahun belakangan ini seperti di Bosnia, Timor Timur, Kosovo, Rwanda dan Sudan

 Perempuan Bosnia yang diperkosa dan hamil menghadapi pilihan yang mengerikan. Beberapa, yang mendapatkan bantuan lebih awal, memilih aborsi.

Yang lainnya melanjutkan kehamilan mereka dan meninggalkan bayi mereka saat lahir tanpa pernah melihat mereka dan banyak pula yang meninggal selama proses persalinan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline