Lihat ke Halaman Asli

Dhiyauzzaman Saefi

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY

Mengayuh Harapan di Pelataran Malioboro

Diperbarui: 26 Desember 2024   06:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto pangkalan tukang becak di Malioboro (sumber: dok.pribadi)

Malam itu di bawah gemerlap lampu Malioboro, Pak Yarmuji, seorang pria sederhana, duduk di atas becaknya. Dengan kaos yang penuh keringat membalut tubuhnya, ia terlihat tenang, seperti menyimpan cerita panjang yang jarang terdengar. Bukan sekadar tukang becak, pria asli Yogyakarta ini telah menghabiskan sepuluh tahun terakhir mengayuh rejeki di jalanan kota budaya ini.

“Saya sudah sepuluh tahun jadi tukang becak,” ujarnya sembari melirik becak tuanya. “Awalnya berat, tapi lama-lama ya sudah terbiasa. Becak ini bukan cuma alat kerja, tapi sudah seperti teman setia.”

Bagi Pak Yarmuji, menjadi tukang becak adalah pekerjaan yang penuh perjuangan, namun sarat makna. Setiap hari, ia berangkat pagi-pagi dari rumahnya di pinggiran kota dan baru kembali larut malam. Perjalanan yang panjang itu memberikan kesempatan baginya untuk bertemu berbagai macam orang, mulai dari turis lokal hingga mancanegara.

“Saya sering antar wisatawan, terutama di Malioboro. Ada yang dari Jakarta, ada juga bule-bule dari Eropa. Mereka suka tanya-tanya soal Jogja,” ceritanya sambil tersenyum.

Tak hanya menjadi pengantar, Pak Yarmuji kerap kali menjadi pemandu wisata dadakan. Ia menceritakan keindahan Jogja dari sudut pandangnya—tentang Keraton, Taman Sari, hingga kuliner khas seperti gudeg. Baginya, berbagi cerita tentang Jogja adalah cara untuk menjaga kebudayaan daerahnya tetap hidup.

Namun, perjalanan sepuluh tahun ini tidak selalu mulus. “Kadang-kadang susah dapat penumpang, apalagi kalau musim hujan. Tapi ya namanya hidup, harus sabar,” katanya penuh keikhlasan.

Pak Yarmuji juga merasa pekerjaan ini membuatnya terus belajar. Ia belajar memahami orang lain, melatih kesabaran, dan tentu saja menjaga kesehatannya. “Mengayuh becak itu olahraga juga, jadi badan saya tetap bugar,” tambahnya dengan tawa kecil.

Di tengah kesibukannya, ia tetap merasa bangga dengan profesinya. Menurutnya, tukang becak adalah bagian dari identitas Jogja yang tidak boleh hilang. Ia berharap becak tetap menjadi pilihan transportasi ramah lingkungan di tengah perkembangan zaman.

“Selama becak ini masih bisa saya kayuh, saya akan terus bekerja. Jogja adalah rumah saya, dan becak ini adalah cara saya merawat rumah ini,” tutupnya dengan nada penuh keyakinan.

Di antara gemerlap Malioboro yang semakin modern, sosok seperti Pak Yarmuji adalah pengingat bahwa nilai-nilai lokal dan kesederhanaan masih menjadi jiwa kota ini. Ia bukan hanya seorang tukang becak, melainkan penjaga tradisi yang terus mengayuh harapan dan cerita di tengah hiruk pikuk Yogyakarta.

Malam itu di bawah gemerlap lampu Malioboro, Pak Yarmuji, seorang pria sederhana, duduk di atas becaknya. Dengan kaos abu-abu yang membalut tubuhnya, ia terlihat tenang, seperti menyimpan cerita panjang yang jarang terdengar. Bukan sekadar tukang becak, pria asli Yogyakarta ini telah menghabiskan sepuluh tahun terakhir mengayuh rejeki di jalanan kota budaya ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline