Pada konsep psikologi ada yang disebut dengan "Self" merupakan pemahaman dalam mengilustrasikan siapa diri kita, dia dan mereka, self merupakan kata ganti yang sudah kuno berabad-abad tahun lalu di gunakan, diri manusia merupakan misteri box yang selalu di pertanyakan, di pertentangkan, baik dari sisi positif maupun negatif.
Pertanyaan pertama apa itu self atau diri? secara umum self/diri merupakan bagian dari menyadari, mengalami, mengilustrasikan, memberi penilaian, bersensasi berlandaskan pada persepsi, perasaan, pikiran, motivasi atau perilaku. uniknya adalah diri manusia itu sendiri mengambil sampel pelajaran untuk dirinya dari pengalaman masa lalu, sekarang dan masa depan.
Seperti contoh, kita takut dengan publik speaking karena dahulu saat kecil kita sering di marahi tanpa alasan, kita sekarang memberontak karena jenuh dengan pengekangan, kita akan merubah sikap itu jika di masa yang akan datang tidak ada lagi pengekangan.
Bagaimana dengan konsep Qur'an tentang manusia?
Dalam kita suci tersebut yang paling berkenaan dalam teori kemanusia yaitu An-nafs yang bisa di pahami sebagai nyawa dari dalam diri tersebut. Al Qur'an berbicara tentang kemanusia ini sebanyak dalam 268 Ayat seperti (QS. AlBaqarah, 9,44, dll.; Ali-Imran, 25, 38, 30, dll.; An-Nisa, 1, 4, 29, dan lain-lain), tafsir dari an-nafs, berhubungan erat dengan al-qalbu, ar-ruh, al-aqlu, al-lub, ash-shodru. Elemen inilah yang membantu fungsi dan faktor dari perilaku manusia itu sendiri, stetmen tersebut di perkuat oleh Baharuddin (2004), menyebutkan bahwa al qalb, ar-ruh, al aqlu merupakan dimensi-dimensi yang diwadahi oleh an-nafs.
Di dunia eropa William James juga sudah menjelaskan teori tentang self/diri bahkan sejak pertama kali ilmu psikologi didirikan. pada saat itu James menyampaikan ada dua hal yang berperan sebagai subjek (manusia) yaitu (I atau knower) dan ada diri yang berperan sebagai objek (me atau known).
Di bagian Timur Tengah ada dari Yahya bin Muadz Ar-Razi yang seringkali dikutip oleh banyak kalangan dimana ia mengatakan "barangsiapa mengenal dirinya pasti akan mengenal Tuhannya" menunjukkan betapa pentingnya kita sebagai manusia mengenali diri kita terlebih dahulu. Pernyataan tersebut mungkin merujuk pada apa yang disampaikan Allah dalam surat Fushshilat ayat 53, yaitu bahwa "Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayatayat Kami di dunia dan di dalam diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Qur'an itu benar". Dalam manafsirkan kata "anfusikum" merujuk kepada diri mereka sendiri. Maka sesuai dengan nasehat dari Yahya bin Muadz Ar-Razi benar bahwa pemahaman terhadap tanda-tanda pada diri manusia, baik jasmaniahnya maupun rohaniyahnya, akan mengantarkan kepada pemahaman terhadap
Allah SWT.
Fungsi dan Esensi kenapa perlu memahami diri kita?
- Pertama, menurut Heider (1958) manusia mempunyai banyak need atau kebutuhan untuk memahami dan mengendalikan lingkungannya. dimana keebutuhan/need ini bersifat alamiah dan melekat pada eksistensi diri setiap manusia. Pemenuhan kebutuhan ini akan bermanfaat bagi keamanan dan kenyamaan manusia dalam menjalani kehidupannya. Dengan pemahaman yang baik terhadap lingkungannya, manusia akan mampu melakukan antisipasi dan cenderung menunjukkan sikap dan perilaku yang dapat memaksimalkan kebaikan bagi dirinya sendiri, sehingga menghindarkan diri dari berbagai keburukan yang mungkin akan menimpanya. Sebagai contoh kita selalu berusaha memahami dan mempelajari apa yang di rasakan oleh indra manusia sehingga kita dapat menentukan sikap dan perilaku sesuai dengan norma-norma yang ada.
- Kedua, mengetahui/memahami terhadap diri sendiri ini penting karena bagaimana manusia itu dalam memanajemen kesan dan bagaimana manusia menunjukkan diri dalam lingkungan sosial, baik secara verbal maupun non verbal, secara sadar maupun tidak sadar. Carlston dan Mae (2003) menjelaskan manajemen kesan sebagiannya terjadi cenderung secara sadar dan dengan niat yang jelas, sedangkan sebagiannya lagi berlangsung secara tidak sadar dan otomatis. Bahkan motif yang mendasari manajemen kesan ini dipengaruhi oleh pemahaman diri kita terhadap kita itu sendiri sebagai manusia. Kemdian di lanjutkan oleh Brehm dan Kassin (1997) menyebutkan ada dua motif yang mendasari manajemen kesan, yaitu memastikan bahwa persepsi orang lain terhadap dirinya itu sesuai dengan bagaimana pemahamannya terhadap dirinya sendiri, atau ingin mendapatkan tujuan-tujuan instrumental tertentu, sebagai contoh untuk mendapatkan simpati, persetujuan, kekuasan, dan lain-lain. Mengapa demikian? Krueger, Alicke, & Dunning, (2005) menyinggung bahwa pemahaman diri dan manajemen kesan ini juga berpengaruh terhadap bagaimana memperlakukan dan diperlakukan orang lain. sederhananya perlakuan orang lain terhadap kita dipengaruhi oleh persepsi orang tersebut, dan persepsi orang tersebut dipengaruhi oleh persepsi terhadap dirinya sendiri. Maka merujuk dari inilah bahwa kita penting melakukan pemahaman terhadap diri sendiri ini bisa menjadi sumber informasi dalam evaluasi diri, dan standar moral dalam memahami dan memperlakukan orang lain.
- Ketiga, Ali, Fang, & Rizzo (2010), Goodwin & Olfson (2002 berpendapat bahwa pemahaman kita terhadap diri sendiri bisa berpengaruh baik terhadap kesehatan mental maupun fisik.Hal ini karena pemahaman diri ini merupakan mediator antara hubungan antara manusia dengan dunianya. Mengapa demikian? Karena pengalaman bisa berdampak netral, negatif,ataupun positif, setiap orang memiliki pemahaman yang unik dan berbeda-beda mengenai dirinya sendiri.. Oleh karena itu Allah SWT pun menunjukkan bahwa orang yang menganggap dirinya rendah cenderung mudah sedih dan lemah dalam bersikap (QS. Ali-’Imran, 139). Selain sikap tersebut juga ada yang memandang dirinya paling kaya seperti halnya Qorun dan mengaku bahwa
kekayaan yang diperolehnya hanya karena kecakapannya (QS. Al-Qashash, 78); ada yang menganggap dirinya sebagai tuhan
yang maha tinggi seperti Firaun (QS. An-Nazi’at, 24); mengaku paling berhak terhadap surga (QS. Al-Baqarah, 111); dan lain-lainnya. Perbedaan individual dalam hal kemampuan inderawi, kecerdasan, kepribadian, pengalaman hidup, dan lingkungan berkontribusi besar pada subjektivitas pemahaman tersebut. Oleh karena itu Brehm dan Kassim (1996) membicarakan metode dalam mengidentifikasi dalam memahami diri, yaitu melalui instrospeksi, pengamatan terhadap perilaku sendiri, pengamatan terhadap pengaruh orang lain, dan ingatan autobiografis. Sehingga kita terhindar dari orang-orang yang disebut Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 80, yang mengklaim bahwa dirinya akan terhindar dari api neraka kecuali dalam beberapa hari saja atau seperti orang kafir dikarenakan pencapaiannya dalam kehidupan dunia kemudian merasa tinggi, dan suka merendahkan
orang-orang beriman (QS, Al Baqarah, 212).
Oleh karena itu, betapa pentingnnya memahami diri sebagaimana persoalan yang di jelaskan di atas agar menjadi pribadi yang layak di nobatkan sebagai Manusia Merdeka. Jika pemahaman diri sampai manajemen diri tidak dapat di ketahui akan berdampak pada ketidak adanya prinsip dalam hidup, sehingga tidak mampu menyadari, mengalami, mengilustrasikan, memberi penilaian, bersensasi berlandaskan pada persepsi, perasaan, pikiran, motivasi atau perilaku atas tanggung jawab diri dan terombang ambing dalam keputusan, sehingga munculnya stress, depresi dan sebagainya.
Referensi
Ali, M.M., Fang, H., & Rizzo, J.A, (2010). Body weight, self perception & mental health outcomes among adolescents. Journal Mental Health Policy Econ, 13(2), 53-63.