Makro ekonomi ? sudah kalau bahas yang satu ini pasti panjang urusanya dan luas jelajahnya, 4 bulan sudah semenjak ditetapkanya Makro RAPBN 2014 Indonesia dibulan Oktober 2013 kemarin oleh paripurna. Makro RAPBN 2014 yang telah disetujui ketentuanya adalah besaran laju inflasi 5,5%, sedangkan pertumbuhan ekonomi 6,0%, memperkuat nilai tukar rupiah hingga Rp 10.500 perdolar AS, tingkat suku bunga Surat Pembendaharaan Negara pe tiga bulan 5,5%, harga minyak dikisaran 105 Dolar US perbarel, sedangkan untuk target produksi minyak sejumlah 2110 ribu barel perhari.
Semua yang ditetapkan tersebutlah yang digunakan untuk menghitung neraca RAPBN 2014, hasilnya secara umum sudah kita ketahui bersama bahwa RAPBN 2014 kita meningkat (surplus), dan berarti pertumbuhan ekonomi kita bagus. Tetapi sayang pertumbuhan ekonomi tersebut tidak di barengi dengan menurunya Rasio Gini (pemerataan pendapatan), Rasio Gini kita meningkat dari 0,4 menjadi 0,42 sehingga dapat diartikan kesenjangan ekonomi kita semakin tinggi juga. Padahal logikanya kalau ekonomi tumbuh kan seharusnya ekonomi rakyat juga naik dan Rasio gini harusnya turun, tetapi permaslahan disini Ekonomi tumbuh sedangkan Rasio Gini meningkat, dapat diartikan ada kebijakan yang tidak benar disini.
Ekonom Universitas Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko mengatakan di komunitas jejaring sosial LinkedIn, "Pada masa Pemeritahan SBY neoliberalisme semakin kokoh bahkan lebih liberal dibandingkan negara kapitalis sekalipun, terbukti dengan semakin Kapitalismenya RAPBN 2014 yang menargetkan pertumbuhan Ekonomi 6%, namun yang dihasilkan adalah pertumbuhan Ekonomi yang tidak sehat. Karena kebijakan defisit yang ditopang penarikan utang baru dengan prioritas mengejar pertumbuhan tinggi bisa menjadi pilihan tepat dalam menyiasati pelambatan ekonomi dunia apabila yang ingin diwujudkan adalah pertumbuhan berkualitas. Padahal, lanjut dia, yang terjadi sebaliknya yaitu pertumbuhan ekonomi Indonesia justru memperlebar ketimpangan pendapatan. Hal itu ditandai dengan kenaikan Indeks Gini Rasio menjadi 0,42 dan akan sangat membahayakan stabilitas jika sampai menyentuh angka 0,5. Pasalnya, jika rasio gini menyentuh 0,5, itu berarti kondisi ketimpangan sangat parah dan membahayakan karena konflik sosial mudah merebak.
Saya sendiri coba membandingkan dengan Rasio Gini dari negara Ekonomi maju seperti Cina, yaitu negara komunis yang jadi panutan negara komunis lain. Ternyata Rasio Gininya parah juga sama-sama diatas 0,4, kesenjangan sosialnya tinggi. Justru kesenjangan yang sosialnya rendah atau Rasio Gininya rendah malah negara negara skandinavian yg aslinya kapitalis (tapi menerapkan welfare state - jadi rada sosialis juga, bisa dikatakan ngikut paham the third way atau mirip di Indonesia), rasio gininya cuma 0.2 an.
Saya mencoba menganalogikan apa yang disampaikan oleh Ekonom Universitas Atmajaya Agustinus Prasetyantoko tadi dengan kenyataan dilapangan, dan ternyata negara berideologi The third Way malah rendah Rasio Gininya. Trus kenapa Indonesia tidak begitu juga ? mungkin saja kalau di Indonesia ideologi sama realita dilapangannya justru berbanding terbalik.
Negara Skandinavian meskipun mereka bisa dikatakan hampir mirip dengan ideologi indonesia, tetapi pemerintahnya banyak memberi subsidi seperti jaminan kesehatan, pendidikan dll, pada rakyatnya, jadi hasilnya rasio gininya rendah. Disana pajak orang biasa sekitar 40%, dan pajak buat orang kaya bisa sampai 70%, dari pajak yg tinggi itu tersebut dipakai buat memberi subsidi di kesehatan, pendidikan, pembangunan dan infrastruktur, itulah perbedaan yang membuat Rasio gini mereka rendah.
Sedangkan Indonesia, jangankan sperti Negara Skandinavian tadi, masalah pajak sangat berlarut-larut dari dahulu saja tidak pernah terselesaikan, seperti permasalahan kenapa Paradoxnya tax ratio (tax/GDP) kita relatif nggak berubah juga dari tahun ke tahun, padahal base-nya GDP naik terus (diartikan pertumbuhan ekonomi kita positif), itu terjadi karena salah satu penyebabnya ada di jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak, sehingga perhatian pada pembayar pajak lebih kepada intensifikasi pajak, daripada ekstensifikasi pajak.
Pengalaman di lapangan, banyak pengusaha yang seharusnya sudah mempunyai NPWP, tapi mereka lebih memilih rajin melakukan tax evasion dengan memecah omzet dia dengan diatas namakan beberapa tempat usaha yang bisa sampai sepuluh nama, itu dimaksud untuk membuat nilai wajib pajak mereka kecil, dan ini sangat merugikan pemasukan negara. Lihat saja contohnya pejabat-pejabat tinggi di Indonesia dengan gajinya, tidaklah mungkin meraka punya tabungan dan deposito yang jumlahnya seperti yang diungkap di laporan pajaknya, dan terus saja masalah yang seperti ini tidak diusut oleh dirjen pajak. Tidak seperi Amerika yang lebih tegas, contohnya bill clinton dan hillary saja dikejar kejar karena ada masa tertentu mereka tidak lapor pajak dan dianggap mangkir.
Saya menganggap Negara ini seperti tubuh yang diserang virus-virus flu dari luar tubuh kita, dan ketika Kita mau membentengi tubuh kita dari virus tersebut itu sangatlah tidak mungkin, yang bisa kita lakukan adalah mempersehat diri kita sendiri, karena jika kondisi tubuh kita sehat dan prima, virus flu tersebut tidaklah mungkin bisa menyerang kita.
Mungkin kita terlalu menyalahkan Paham Luar yang mempengaruhi negara kita untuk sebuah kepentingan, tetapi dari dalam sendiri kita tidak memperkuat fundamental kita . Mungkin solusinya adalah dengan memperbaiki kebijakan-kebijakan yang ada, itu akan memperkuat fundamental kita sehingga kita akan mampu bertahan dari pengaruh-pengaruh paham neoliberal yang menyerang. Ketika itu sudah terjadi, maka Negara ini akan kuat fundamental Ekonominya dengan dibarengi semakin meningkatnya kesejahteraan rakyatnya. Semoga Bermanfa'at.
Dhita Arinanda PM.