Lihat ke Halaman Asli

Pentingnya Cadangan Emas bagi Suatu Negara

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption] Dalam perkembanganya uang memiliki sejarah yang panjang sekali dalam perjalananya, dahulu kala sebelum dipakai uang yang dipakai alat pembayaran adalah emas, selanjutnya berkembang menjadi uang kertas, tetapi dalam ketentuan pembuatan uang kertas harus didukung oleh persediaan emas sesuai dengan yang dimiliki oleh tiap negara tersebut. Sudah menjadi rahasia umum sejak 1971 Amerika tidak mencetak US Dollar sesuai dengan cadangan emasnya atau hanya berdasarkan kepercayaan saja (fiat). semenjak itu setiap negara berusaha mengumpulkan emas untuk cadangan devisanya selain menggunakan US Dollar, itu terjadi lebih intens memasuki tahun 2000 kemarin. Bagaimana Indonesia sendiri? Sangat sayang sekali, sebagai salah satu negara penghasil emas terbesar di dunia kita malah berada di posisi 39 negara terbanyak cadangan devisa emasnya. Indonesia melalui Bank Indonesia hanya memiliki 78,1 Ton emas berbanding 3,2% dari total devisa Indonesia. (Detik.Com Rabu, 26/03/2014). Kenapa banyak negara tersebut mulai intens menimbun emas dewasa ini? - Berdasarkan proyeksi International Monetary Fund (IMF), mereka masih memperkirakan sumbangsih Amerika Serikat terhadap ekspansi ekonomi dunia akan mencapai 2/3 sepanjang 2014-2019. “Amerika Serikat masih menjadi mesin penggerak ekonomi global, walaupun kontribusinya tidak semasif dahulu,” tekan Mark Zandi, Ketua Ekonom Moody’s Analytics Inc. di West Chester, Pennsylvania, Jumat (Quick News Bisnis.Com). - Akan tetapi Morgan Stenley with HSBC and financial analyst statistician Dr. Jim Willie, memprediksikan lain bahwa kembalinya standar emas sudah dekat waktunya, Setidaknya 23 negara sudah bersiap untuk sistem perdagangan baru yang akan terjadi di luar penggunaan US Dollar - Diperkuat juga dengan argumen Marc Fabber warns Swiss adviser and fund manager “We are in a gigantic financial asset bubble,It could burst any day, Billion-dollar investor Warren Buffett is rumored to be preparing for a crash as well. The “Warren Buffett Indicator,” also known as the “Total-Market-Cap to GDP Ratio, is breaching sell-alert status and a collapse may happen at any moment ". (Moneynews 12 April-2014) Semua memang masih dalam analisa berdasarkan perkembangan situasi terkini yang sedang terjadi. So jika kita memiliki tabungan banyak dalam bentuk US Dollar, atau kita mempunyai sebuah usaha di mana bahan baku dan produk kita dibeli atau dijual dengan menggunakan US Dollar, sudah saatnya kita mulai peduli terhadap hal ini. Tanda-tanda kerapuhan US Dollar semakin nampak banyak, dan perlu kita ketahui juga bahwa Bank Indonesia terkadang melakukan intervensi terhadap US Dollar supaya tidak melemah terhadap Rupiah, karena dengan melemahnya Rupiah ekspor kita akan lebih bisa diterima di pasar internasional, Dalam hal ini bukan berarti US Dollar kuat terus terhadap rupiah, semua itu permainan dalam menjaga keseimbangan ekonomi dalam negeri, kita sendirilah yang harus jeli terhadap fenomena-fenomena yang sedang terjadi. Dalam perdagangn Global dewasa ini, China sedang giat-giatnya membeli US Dollar dan ini diikuti oleh banyak negara, itu dilakukan dengan tujuan melemahkan mata uang negaranya sendiri terhadap US Dollar, agar produk mereka lebih laku di pasar Internasional. Inilah cermin perdagangan Internasional saat ini, di mana itu akan segera mendorong ke depannya inflasi US Dollar terjadi di mana-mana. Dalam menyikapi fenomena ini kita harus melihat perkembangan Ekonomi Amerika dan US Dollar-nya.Karena sampai saat ini Amerika masihlah menjadi negara pengimpor terbanyak di dunia ini, bila negara ini sehat ekonominya sudah tentu itu akan menarik tumbuhnya ekonomi negara-negara pengekspornya termasuk Indonesia. Tetapi permasalahan yang terjadi saat ini, Hutang AS sudah mencapai 170.000 Trilliun rupiah dewasa ini atau kurang lebih sebesar 17 triliun us Dollar dan ini diprediksi akan terus meningkat hingga 2015 (Detik News. Com), ditambah lagi dengan defisit neraca pembayaran mereka yang membuat keadaan ini semakin mengkhawatirkan. Perlu kita ketahui lagi, krisis Amerika 2008 dahulu juga berwal dari keadaan-keadaan seperti ini, di mana dulu Amerika mengalihkan penyerangan Libya kepada NATO dikarenakan sudah tidak ada biaya, selanjutnya Amerika pun sekuat tenaga mempertahankan rating kreditnya masih di level AA-nya, agar tidak mengurangi kepercayaan negara-negara lain terhadap segala jenis tanggungannya. Maka diterbitkanlah surat hutang Amerika secara terus-menerus untuk menutupi defisit neraca mereka. Itulah yang membuat hutang Amerika terus bertambah dan di sisi lain US Dollar membanjiri pasar global. Karena rentetan dari Krisis Amerika 2008 tersebutlah, nilai US Dollar cenderung menurun dan menyebabkan inflasi di Amerika dan negara-negara lain. Belum lagi ada efek dari gejolak-gejolak politik Amerika yang terjadi akhir-akhir ini di tahun 2014. Nilai US Dollar dari tahun ke tahun pun cenderung menyusut, tren tersebut mulai direspon oleh banyak negara, bahkan Bank Dunia pun menerbitkan Obligasi dalam bentuk mata uang bukan US Dollar tetapi Yuan. Tren Inflasi tersebut sebenarnya dapat dilihat dengan mudahnya dari naiknya harga minyak dunia serta kebutuhan pokok di tiap waktunya, itulah indikasi utama, yang selanjutnya akan diikuti dengan tingkat pengangguran yang semakin tinggi, hal tersebut sudah dialami oleh Amerika dan pastinya akan segera menyebar ke negara-negara lain. Efek dari Inflasi US Dollar tersebut, pertama-tama akan menyerang China dan Jepang sebagai negara pemegang US Dollar terbanyak. Itu sudah terlihat sejak 2013 kemarin, di mana Bank Of China sudah menaikkan 5 kali suku bunganya yang dapat dibaca untuk menekan Inflasi. China pun sekarang aktif juga untuk menimbun emas untuk mengantisipasi keadaan-keadaan tersebut, sambil secara bertahap China mulai mengurangi penggunaan US Dollar dalam perdagangannya, menggunakan US Dollar tersebut untuk berinvestasi dan dipinjamkan kepada negara-negara lain. Nah Indonesia ini termasuk salah satu 'pasien' China tersebut, jadi apa tidak lucu juga di mana negara lain mulai berlomba menumpuk emas, dan mulai mengurangi penggunaan US Dollar untuk menghindari Inflasi, Indonesia malah tidak berusaha mengikutinya dan memilih menjadi negara penerima pinjaman US Dollar tersebut. Alasan-alasan inilah yang menjadikan negara-negara dunia berpikir ulang untuk menggeser Us Dollar dengan sistem mata uang yang riil cadangan emasnya. Yups pemerintah Indonesia seharusnya lebih memperhatikan Agregate Finance dalam melihat gelagat ekonomi Internasional dewasa ini, karena sudah seharusnya Indonesia ini mulai rajin menabung emas juga dalam devisanya seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain menyikapi fenomena-fenomena ekonomi yang bisa saja menjadi boomerang di setiap waktunya. Segera mungkin memperbaiki fundamental ekonomi, dengan memperbaiki sektor ekonomi dalam negeri supaya fisik Indonesia sendiri kuat dan tahan jika suatu saat ada virus yang 'sudah pasti' akan segera datang ini, dan lebih memperketat pengawasan pasar modal terhadap investor-investor yang mencari keuntungan jangka pendek saja, karena ini akan sangat riskan bagi Indonesia sendiri jika mengingat keadaan yang tidak pasti seperti ini. Nah jika melihat itu semua, Emas atau Dollar kah yang akan mendominasi Dunia kedepanya, dan apakah akan terjadi Buble Ekonomi kedepanya ? Semoga Bermanfaat. Dhita Arinanda PM 14 April 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline