Lihat ke Halaman Asli

Mimpi Indonesia untuk Naik Kelas dalam Ekonomi

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Banyak sekali rakyat Indonesia dewasa ini yang masih tenggelam dalam mimpi-mimpi lama-nya telah "terbang tinggi" menjadi negara yang maju, sehingga dengan angka cantik yang diperlihatkan dalam rumusan PDB/kapita yang nominalnya memang fantastis, menjadi sebuah euforia tersendiri karena dengan itu sudah bisa dikatakan "Indonesia berhasil naik kelas dalam ekonomi", padahal itu sebenarnya lewat angka hutang, kuncinya ada dua kata swap dan Middle Income Trap, nah jika sudah membaca dua kosa kata tersebut, pasti akan tampak keadaan Indonesia ini ada dimana sebenarnya.

Dalam sistem ekonomi liberal-sosial seperti Indonesia ini, ciri utamanya adalah pemerintah harus mempunyai anggaran yang besar untuk ikut campur dalam mekanisme pasar, seringkali paradigma tersebut menjadi isu hangat untuk jalan privatisasi BUMN, pembangunan Insfratuktur oleh swasta, dll, dengan alasan terlalu memberatkan anggaran, dan dalam aplikasinya di Indonesia sendiri birokrasi pemerintahan seringkali dianggap cuma sebagai "cost center" yang tidak mampu menghasilkan "profit center", ini terjadi karena karakter budaya birokrat yang selalu saja masih bersembunyi di zona camfort-nya sehingga dari ke hari keadaan ini pun semakin parah, dan privatisasi BUMN itupun tak terelakan untuk terjadi.

Apa sih yang dibutuhkan Negara ini untuk menjadi maju dalam ekonomi dan bisnis ?

Beberapa tahun ini, penulis banyak sekali mempelajari dan mengamati sejarah perkembangan ekonomi China, dan semakin kedalam mengenal hal tersebut, semakin membuat penulis kagum terhadap cara yang di gunakan China.

Orville Schell dan John Delury dalam bukunya yang berjudul "Wealth and Power, China’s Long March to the Twenty First Century", mengatakan bahwa sejak dilakukanya revolusi ekonomi oleh Deng Xio Ping di tahun 1980, China melepas ideologi komunis mereka secara "abu-abu", sejak itu mereka mengakui kalau membutuhkan pasar bebas (kapitalisme) untuk memajukan ekonomi negaranya. Karena itulah China membuka lebar-lebar pintu negara mereka sebagai tujuan ekspor dan untuk FDI (foreign direct investment) atau aliran modal asing, akan tetapi di sisi lain China "berkompromi" untuk tidak adanya intervensi politik dalam aliran modal asing tersebut dengan regulasi ketat mereka (sosialisme), inilah yang dimaksud "abu-abu" China dalam kapitalisme karena masih melindungi sosial mereka. Negara barat menyetujui hal tersebut, dengan syarat China melakukan Land Reform atau pelepasan hak milik tanah untuk dikuasai oleh individu-individu.

China pun mulai ikut dalam WTO (perdagangan bebas) sejak tahun 1990, disinilah etos masyarakat china sangat terlihat kerja kerasnya, mereka mulai memproduksi barang-barang dan kerajinan untuk di jual di berbagai negara, dalam perkembanganya China mulai "berulah" dengan melakukan inovasi membuat barang imitasi yang di jual di pasar bebas, Alhasil di tahun 1999 China pun mendapat sanksi oleh WTO dan terancam di embargo keanggotaanya. Seperti yang disebutkan dalam buku "Behind The Scenes at The WTO : The Real World of Internasional Trade Negotiations", Akan tetapi china berhasil menegosiasi hal tersebut dan memberikan penawaran untuk memberi kemudahan masuk ke China untuk memproduksi barang-barang murah tersebut, dan hasil utamanya akan di konsumsi nagara China sendiri.

Kesepakatan pun dimulai, ternyata negara-negara barat berhasil masuk perangkap China, serta "asyik sendiri" dengan memproduksi barang-barang murah tersebut, yang hasilnya mereka sebar juga di pasar bebas, Yups hal ini telah membuktikan China menaklukan kapitalisme (pasar bebas) melalui kiblatnya sendiri yaitu konsumen yang selalu berpegang pada prinsip ekonominya sendiri yaitu kata "murah. Akhirnya masuklah banyak investasi ke China untuk membangun pabrik (I) dan insfratuktur di sana (G), sehingga daya beli masyarakat china pun akhirnya ikut terangkat (C).

Ketika ketiga aspek (I,G dan C) pertumbuhan ekonomi China terpenuhi, akhirnya berkembanglah ekonomi China, aliran uang pun mulai masuk ke kantong mereka (moneter), sementara negara-negara barat masih saja asik dengan "merk murah" tersebut dan menikmati aliran pasar finansial. Permainan pertama pun di mulai ketika China mendirikan CIC atau China Investment Corp, yaitu BUMN mereka yang tugasnya mengolah surplus dana moneter mereka dalam pasar finansial. Selain itu melalui Bank of China, mereka pun mulai aktiVe dalam menimbun emas, mereka menjadikan perjanjian "Bretonwood Agreement" sebagai acuan untuk menggeser penggunaan US Dollar sebagai Internasional currency di masa depan, dimana mata uang dengan cadangan emas terbanyaklah yang berhak menjadi mata uang internasional (Buku Joshua Cooper Ramo : The Beijing Concensus)

Pengamat financial Carl E. Walter dalam bukunya yang berjudul "Red Capitalism, The Fragile Financial Foundation of China’s Extraordinary Rise" yang menceritakan, bahwa sebenarnya foundamental ekononi Amerika itu terus berkembang sejak tahun 2000 hingga 2006 dan mengalami surplus neraca pembayaran secara terus menerus, tetapi sayang surplus tersebut tidak bisa menutupi defisit perdagangan mereka dengan China, karena China menerapkan rezim Fix Rate atau tidak memperjualkan mata uang Yuan-nya di pasar finansial. Keadaan panik itulah yang malah membuat Amerika blunder dalam kebijakanya, yaitu ketika The Fed merendah kan suku bunga-nya, yang dalam arti ingin membanjiri pasar modal dengan maksud untuk menjebak China, sayang hal yang tidak diperkirakan terjadi, yaitu banyaknya spekulan yang bermain di emergency market saat itu untuk mencari keuntungan, sementara China tidak merubah kebijakanya. The Fed pun menyadari itu sia-sia dan bisa membawa bahaya, sehingga segera menaikan suku bunganya di tahun 2005 yang ternyata aksi tersebut malah menjadi bibit Crash Subprime Mortage Amerika 2008 lalu, Inilah salah satu alasan Amerika selalu berteriak terus kepada China untuk melepas pegging Yuan mereka agar mengikuti mekanisme pasar, karena Amerika menyadari sudah kalah di dua sisi oleh China.

Like as Carl E. Walter said that "I think it will be very interesting to witness the rivalry between state capitalism and free market capitalism. If China did increase the value of its currency, dont you think the US consumers will suffer most ? The less the US import from china the less deficit they can create. China gave a rope to US to hang themselves".

Yups, Carl E. Water mengistilahkan China seperti memberikan tali kepada Amerika untuk gantung diri, dan Amerika menerimanya dengan sadar. Amerika sendirilah yang melakukan kesalahan tersebut dan China hanyalah melindungi diri mereka sendiri. Kalau perang dingin dua blok secara ideologi telah berakhir di tahun 1990 dengan runtuhnya rezim Sovyet, dewasa ini dunia sebebenarnya telah diberi pertunjukan perang dingin lagi antara Timur dan Barat dalam hal perang moneter. Disinilah sebenarnya China sudah memberi contoh bagi negara Asia lainya, bahwa sebenarnya mereka mampu untuk berkembang dan mengejar.

Melihat hal itu semua dapat diambil benang merahnya yaitu sebuah keseimbangan lah yang dibutuhkan Indonesia ini untuk berkembang. Kita tidak bisa membiarkan negara ini menjadi sangat bebas, karena pada dasarnya Kapitalisme itu bisa terjadi dengan sempurna ketika semua penduduk di dunia ini adalah malaikat, sedangkan dalam kenyataanya setiap Individu itu tidak dilahirkan dengan keadaan "setara", dan mereka pun cenderung bersifat opportunis untuk mempertahankan dirinya sendiri. Lihatlah contoh kecilnya, asupan gizi bayi saja sekarang punya "kelas" kok, apalagi urusan yang besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline