Kematian adalah suatu hal yang tidak dapat diprediksi sama sekali oleh manusia. Namun, kematian tidak pernah luput dari kata mencegah, terutama pada kematian bayi dan ibu. Mendengar kasus kematian ibu dan bayi, mungkin terdengar pedih dan tidak bisa dicegah.
Ketika mendengar angka kematian bayi di Indonesia sedikit cukup melegakan melihat hasil Long Form SP2020 mencapai 16,85 per 1.000 kelahiran hidup. Hal ini tentunya mencapai target dari RPJMN 2020-2024 yang menargetkan 16 per 1.000 kelahiran hidup. Meski begitu, masih cukup jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu 12 per 1.000 kelahiran hidup. Justru hanya Provinsi DI Yogyakarta dan DKI Jakarta yang berhasil menebas target tersebut, dengan angka masing-masing 10,9 dan 10,38 per 1.000 kelahiran hidup. Cukup memprihatinkan melihat angka tersebut, bukan?
Di sisi lain, angka kematian ibu masih tinggi, yakni 189 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih tergolong jauh sekali dengan target SDGs 2030 yang menginginkan angka kematian ibu kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup. Namun, sedikit optimis dengan target RPJMN 2024 sebesar 183 per 100.000 kelahiran hidup. Tetapi tetap saja, hal ini terlalu banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian bayi dan ibu, terutama akses dan kualitas layanan kesehatan di setiap wilayah.
Ketimpangan Wilayah Barat dan Timur
Salah satu upaya Indonesia dalam menanggulangi angka ini adalah memberlakukan kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Apakah efektif? Iya, jika itu wilayah barat. Wilayah timur menunjukkan ketimpangan cukup signifikan dengan wilayah barat mengenai kematian ibu dan anak. Angka kematian ibu di Papua masih mencapai 565 per 100.000 kelahiran hidup. Berbeda di DKI Jakarta mencapai 48 per 100.000 kelahiran hidup. Bisakah Indonesia masih optimis mencapai target RPJMN 2024 dengan adanya ketimpangan ini?
Memang apa saja yang dapat menyebabkan ketimpangan ini? Mungkin akan terjawab dari perbedaan demografi. Di mana DKI Jakarta merupakan sebuah kota yang sekaligus pernah menjadi Ibu Kota sampai tahun 2024, secara tidak langsung tidak bisa dibandingkan dengan Papua yang didominasi oleh desa dan adat istiadatnya.
Dua faktor terus menyelimuti tingginya kematian ibu dan anak di Papua. Pertama, penyediaan layanan kesehatan belum optimal dalam menjalankan kebijakan dan program kesehatan, membangun infrastruktur, menyalurkan tenaga medis, dan memberikan kualitas pelayanan yang memadai. Kedua, kondisi sosial, budaya, dan ekonomi orang asli Papua (OAP) sebagai pengguna layanan kesehatan turut memengaruhi sulitnya mengakses fasilitas kesehatan yang sudah disediakan.
Meski tergolong rendah, DKI Jakarta juga tidak luput dari angka kematian ibu dan bayi. Jangan pikirkan wilayah Jakarta yang terdapat gedung tinggi dengan lanyard menggantung di leher pekerja, cukup pikirkan wilayah Jakarta di daerah pinggiran dengan sungai kotor dan kemiskinan merajalela. Dari sanalah angka kematian ibu dan bayi muncul. Namun, tidak menutup kemungkinan angka tersebut muncul dari daerah perkotaan.
Pernikahan Dini dan Risiko Kesehatan
Pernahkah kalian mendengar pernikahan dini di drama atau film? Ini sedikit berkesinambungan dengan kematian ibu dan bayi. Pernikahan dini dan seks sebelum nikah telah menjadi tren di masyarakat, terutama di pedesaan. Remaja hanya berpikiran pendek bahwa berhubungan dengan lawan jenis, kemudian semudah itu melahirkan seorang anak dan hidup bahagia bersama pasangan.
Kenyataan di lapangan sangat berbeda. Kehamilan di usia belia memiliki risiko tinggi bagi keselamatan ibu dan bayi, terutama bagi perempuan yang belum siap menjadi ibu secara fisik dan mental. Dalam dunia kedokteran, kehamilan di usia remaja sangat rentan atas sesuatu sehingga tidak dianjurkan untuk mengandung anak pada usia di bawah 20 tahun.