Lihat ke Halaman Asli

Merencanakan Keuangan Muncul Setelah Penyesalan

Diperbarui: 11 Januari 2018   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: KRJogja


Pikiran pertama yang muncul setelah lulus kuliah adalah kerja, dapet duit, nabung, belanja sana belanja sini. Yes bisa punya uang sendiri bebas beli apa aja. Itu lah yang (mungkin) pada umumnya fresh graduates pikirkan. Tak terkecuali saya. 

Tapi, pikiran itu pun sirna tatkala kerja tak semudah itu. Dunia kerja itu, saat pertama kali masuk, seakan-akan penuh dengan permata, berlian, mutiara yang mengkilat-kilat. Kenyataannya, berat. Saya akui. Kita memang, akhirnya, punya uang sendiri, tapi adaptasi dengan dunia baru, lingkungan baru, orang-orang baru dengan berbagai kepribadian, itu adalah satu hal. Justru kita sibuk sendiri dengan hal-hal itu. Mana sempat jalan-jalan ke mal kecuali hari libur. Itu juga kalau ada temannya.  Ga kepikiran untuk beli macem-macem karena pikiran sudah penuh dengan kerjaan kantor. Belanja pun juga kalau ingat.

Perasaan itu ada ketika beberapa bulan di awal kerja. Setelah mulai terbiasa, muncul gaya hidup hedonisme. Bisa bertemu sama teman di cafe, belanja barang-barang bermerek, handphone diganti dengan keluaran terbaru, semua serba baru. Bahkan tak terpikir untuk menabung. Senang-senang saja dulu. Yang penting hati senang. Tapi, mau berapa lama? Mau sampai kapan? , 

Saya pernah mengalami hal itu. Terbuai karena akhirnya punya uang sendiri. Ingin beli ini ingin beli itu. Istilahnya "uang juga uang sendiri." Menabung pun hanya sepintas-pintas ada. Namun, penyesalan memang datang belakangan. Ketika akhirnya memutuskan untuk menikah, saya kelimpungan sendiri. Bagaimana tidak? Biaya nikah yang sangat menguras kantong membuat kita berpikir, uang dapat darimana. Ditambah dengan impian-impian pernikahan yang diinginkan. Stres, pusing, menyesal. 

Calon suami (yang sekarang jadi suami) justru kebalikannya. Ia memang sudah merencanakan semuanya. Tabungan nikah, tabungan S2, sampai tabungan untuk membeli mobil setelah menikah. Ini semua sudah dipersiapkan dengan baik. Saya sangat terbantu (saya juga lupa kalau biaya nikah bisa dibagi dua).  Dari situ, saya mulai membenahi diri. Tak boleh kecolongan lagi. Harus dipersiapkan dengan baik. List impian pernikahan saya pun tercapai semua. 

Kehidupan berumah tangga pun dimulai. Pengeluaran memang lebih banyak tapi bisa disiasati. Malah, rejeki lebih banyak. Namun, terbuai akan rejeki, saya sudah mulai menabung tapi masih kurang intens. Ditambah pengeluaran yang lumayan banyak yang kadang entah darimana datangnya. Mungkin karena lokasi kerja yang saat itu dekat dengan Pasar Mayestik dan Blok M. Hampir setiap hari makan siang di luar kantor, ada saja tentengan yang dibawa.

Akan tetapi kami pun mulai membeli rumah. Kemampuan kami membeli rumah bisa diwujudkan di wilayah Jatisari. Pikiran kami adalah, harga rumah pasti akan terus naik signifikan sedangkan gaji belum tentu naik signifikan. Jika membeli mobil, harga mobil akan menurun seiring pemakaian. Kebetulan kami punya uang untuk DP ditambah penghasilan kami nanti digabung bisa buat cicilan. Kami nekat membeli rumah. Tabungan untuk membeli mobil diganti menjadi untuk DP rumah. Pikiran kami semakin besar DP, cicilan pun semakin kecil. Oleh sebab itu, kami mengambil DP sebesar 40% dari harga rumah. Sisanya masuk ke dalam cicilan.

Untuk memperkecil risiko, kami memutuskan untuk menggunakan bank berbasis syariah dalam KPR. Ini karena cicilan akan flat selama masa cicilan, baik dalam situasi suku bunga berubah, inflasi meningkat, harga uang menurun, kami tetap bayar dengan harga yang sama. Memang itulah keuntungan menyicil rumah dengan KPR dari Bank Syariah.

Maybank Syariah pun memiliki jenis pembiayaan dengan nama Rumah Syariah. Ini diperuntukkan bagi Anda yang ingin memiliki rumah tapi baru sampai ke DP nya. Maybank Syariah akan membantu Anda mewujudkan rumah impian. Selain itu, Anda bisa menyesuaikan cicilan KPR Syariahnya seperti apa. Nah yang tak semua ada adalah, cicilannya bisa sampai 30 tahun. Menarik bukan?

Kabar bahagia pun datang ketika saya hamil anak pertama kami. Dari sini, saya dan suami mulai mempersiapkan tabungan kelahiran. Saya pun akhirnya membagi kewajiban. Saya yang beli barang-barang kebutuhan bayi, suami yang urus biaya lahiran dan printilannya. Trik ini berhasil buat kami. Kami pun bisa melunasi biaya lahir yang ternyata ditanggung oleh perusahaan suami tempatnya bekerja.

Kehadiran anak pun menambah warna dalam hidup kami. Kami pun tak hanya jadi lebih bahagia tapi juga lebih berpikir jauh mengenai pendidikan anak, kesehatannya, serta kehidupan kami kelak. Ditambah kami ingin berhaji suatu saat nanti. Kami sempat berpikir untuk berinvestasi di emas. Tapi, harga beli emas masih mahal. Kemudian terpikir untuk investasi dalam bentuk tabungan uang asing alias dolar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline