Lihat ke Halaman Asli

Biyung dan Anak Lanangnya

Diperbarui: 30 September 2022   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

 

Kepada siapa harus ia tuntut
nasib diri
Kala mentari bertahta, menyengat kepala Anak Lanang
yang saban hari berlari kecil, bertelanjang kaki
menuntut ilmu berbekal tekad  pengorbanan
dan .....

Ketika kakinya terantuk batu jalanan
napasnya tersenggal kepayahan
lehernya tecekik kehausan dan
perutnya melintir kelaparan.
Dilemparkannya batu, maka
rontoklah randu muda.
Kemudian dilahapnya sambil berucap
"Duh Gusti, terima kasih atas segala nikmat-Mu"

Dan
Ketika kemarin sepulang sekolah
ia jumpai sekepal kulub dedaunan
bersanding sesendok bubur jagung.

Ketika kini sepulang sekolah,
ia jumpai korek bawang dan garam bersanding dua kerat uwi dan ketela
dan ketika di lain hari ia jumpai rebusan sukun muda tanpa kawan.

Di hari panen, sepulang sekolah
ia jumpai si Biyung di dapur,
"Biyung, apa iku?"
"Iki nggoreng gabah, biar lekas bisa ditumbuk kemudian dibuat bubur."
"Biyung, kenapa mesti bubur ? Aku kepingin nasi."
"Nasi?! Kan enakan bubur."

Ah, Biyung,...
mesti aku tahu, beras secangkir, air sekuali
cukup buat keluarga kita.

Dan
ketika esoknya ia pulang pagi, ia jumpai si Biyung di tegal
"Biyung, aku boleh ambil raport
bila uang sekolah sudah lunas,"
"Baiklah, lempit dan angkat daun itu."
Esok ke pasar dengan setumpuk daun
demi uang sekolah Anak Lanagnya.

Dan; lusa kemudian...
"Biyung, kata Bu Guru, aku harus melanjutkan,
kata Bu Guru lagi, nilai raportku terbaik." 

Ditulis berdasarkan kisah Bapak dan Biyung terkasih

 

Keterangan :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline