'Tangi le, tangi, kowe sahur opo ora?' celetuk ibuku membangunkanku di setiap waktu sahur bulan ramadhan. Bulan ramadhan bagi seorang anak kecil, remaja yang beranjak dewasa memang mempunyai banyak cerita.Setiap tingkatan kehidupan dan pendidikan termaktub seberkas cerita lama yang menjadi cerita masa kini. Sebuah kisah klasik mengiringi langkah kehidupan selanjutnya.
Dimulai dari seorang anak kecil yang baru mencoba berpuasa. Anak sekolah dasar yang mengawali puasa ramadhan dengan puasa mbedhug. Puasa yang berbuka dua kali, adzan dhuhur dan adzan magrib. Anak kelas 1 SD yang belum berfikir pahala dan segala keberkahan puasa ramadhan. Satu-satunya balasan yang diinginkan cuma 2 : uang lebaran dan baju baru buat lebaran. Alhamdulillah puasa mbedhug pun lancar sampai di penghujung bulan ramadhan. Sampai kelas 2 SD aku masih bertahan dengan puasa mbedhug. Perjalanan puasaku dengan satu buka di adzan magrib dimulai ketika duduku di bangku kursi kelas 3 SD. Satu bulan ramadhan full. Dengan konsekuensi badan jadi kurus.
Seperti layaknya siswa lain di penjuru pelosok negeri, tiap bulan ramadhan adalah waktu terbaik buat untuk mencatat segala amal ibadah baik sholat, puasa, silahturahmi di sebuah buku catatan ramadhan. Yang kemudian nanti disetorkan kepada guru agama islam untuk dinilai. Sholat dicatat, dari subuh hingga magrib. Jamaah atau munfarid. Puasa pun juga dicatat. Sekumpulan anak-anak berbondong-bondong sholat tarawih di masjid sampai akhir untuk meminta tanda tangan sang imam. Aku sedikit menduga waktu aku mendengarkan ceramah di sela-sela sholat tarawih itu cuma menentukan judul ceramah yang harus ditulis di buku ramadhan. Pertanyaannya apakah para guru tersebut benar-benar menilai buku ramadhanku? Apakah juga mengecek juga judul ceramahnya? Masih misterius.
Terkantuk-kantuk dalam sholat subuh dan tarawih di masjid hal yang biasa. Belum terasa kenikmatan sholat. Pernah aku sujud di sholat subuh tertidur, sampai para Jemaah yang lain pada pulang. Ketika ramadhan tiba pasti banyak anak-anak berkumpul di masjid. Pemandangan anak-anak yang bicara sendiri, ketawa sendiri, bahkan mengganggu para orang tua yang sedang sholat sudah biasa. Aku pun demikian. Beberapa orang dewasa terganggu kemudian memarahi dan mengusir mereka. Tetapi ada sebuah nilai ketika seorang anak sudah berkenalan dengan masjid. Anak diajarkan untuk mencintai masjid. Mencintai sholat. Memori anak masih segar. Dia dapat mengingat bahkan sampai tua. Sehingga lebih bijak jika menanamkan memori mencintai masjid dimulai dari anak-anak.
Kehidupan ramadhan SMP ditandai dengan lebih banyak nongkrong di sekitar kampung. Sudah mulai begadang. Entah apa yang dicari dari begadang. Kebetulan ada tetanggaku yang jualan HIK sampai subuh. Baru kali ini aku merasakan begadang sampai membangunkan warga keliling kampung. Sahur, sahur. Sahur, sahur. Asik. Tanda aku mulai beranjak dewasa pikirku. Dan puasa pun jadi lebih ringan. Ringan karena tidur ngebo. Tidur habis subuh. Pola hidup dibalik. Aku tidur jam 5/6 pagi, bangun habis dhuhur jam 13/14. Praktis puasaku cuma setengah hari. Setengah hari dipakai buat tidur.
SMA menjadi masa yang lebih berani. Menghabiskan malam ramadhan dengan nongkrong kesana kemari. Dalam masa itupun aku pernah sekali berani sengaja membatalkan puasa di siang hari dalam bahasa kami sebut mokah. Ga tau kenapa aku yang dari SD selalu menjaga puasa tiba-tiba berani dengan sengaja berbuka siang hari. Bulan ramadhan menjadi biasa-biasa saja. Ga sesakral waktu SD. Puasa ya puasa. Ga ada greget kepuasan batin. Dalam berpuasa tujuan utamanya adzan magrib. Mungkin jaman kegelapanku, padahal aku sudah gelap. Tetapi ada satu berkah sendiri bagiku. Jatah fitrah bagi-bagi rezeki (baca: Uang) ketika lebaran dari paman dan keluargaku satndarnya naik. Dalam karir jatah fitrah sebelum aku kerja mungkin masa SMA yang tertinggi. Bisa sampai jutaan.
Cerita anak kost yang berpuasa diidentikan dengan makanan dan harga beserta porsinya. Setelah SMA aku melanjutkan kuliah di UNS Solo. Dan aku merasakan jadi anak kost walaupun jarak rumah dan kampus bisa dijangkau. Kehidupan ramadhanku sedikit lebih teratur daripada di SMA. Aku lebih memperhatikan hal-hal yang membatalkan dan mengurangi pahala berpuasa. Tetapi tetap saja tidak bisa mengalahkan kesakrakalan jaman SD. Begadang tetap jalan tapi lebih menahan diri. Aku dah ga membiasakan untuk tidur pagi bangun siang. Kuliah. Walaupun aku kadang nakal, tapi kuliah jalan lancar. Hal yang mengasyikkan adalah ketika kami mencari warung untuk sahur dan berbuka. Aku sama teman-teman kost yang lain mempunyai prinsip yang sama tentang makanan : harga murah, enak dan porsi kuli. Kami pun mempunyai tempat favorit untuk sahur dan berbuka. Yang aku suka, kami kadang melaksanakan sholat tarawih di kost. Kebetulan ada teman kost kami lulusan pondok pesantren. Keakraban kami sampai sekarang masih terjaga. Kami terkumpul selama kurang lebih 4 tahun dalam kost yang sama.
Aku merasakan Ramadhan berbeda ketika berada di tanah rantau. Aku yang merantau jauh dari orang tua dan kerabat di Jawa. Masyarakatnya religius kuat. Entah aku terbawa suasana jauh dari orang tua, teman berbagi ato memang budaya kebiasaan masyarakatnya dalam menyambut ramadhan. Aku merasakan keberkahan dan makna ramadhan itu sendiri. Sisi religi yang dulu tidak terlalu aku sentuh, sedikit sedikit aku mencoba belajar. Belajar memperbaiki sholat fadhu, belajar menambah sholat sunah, memulai membaca al-qur'an, belajar menghadiri majelis taklim. Yang dulu aku seakan tidak peduli. Bahkan cenderung acuh. Ramadhan aku manfaatkan sebaik-baiknya. Apalagi tahun pertama aku berada di tanah rantau masih dalam perjuangan untuk pekerjaan. Dimana di Ramadhan tahun pertama, aku masih menganggur hingga aku pun merasakan Hari Raya Idul Fitri di tanah rantau.
Hal yang sekiranya menarik buatku di tanah rantau barangkali adalah ketika aku berada di suatu pondok di tengah hutan. Tempat berkumpulnya orang-orang yang belajar. Belajar berkebun. Belajar bertani ikan. Belajar sabar dan syukur. Berdiri 4 bangunan dari kayu. Lengkap dengan dapur. 1 khusus sebagai langgar tempat sholat. Banyak orang jawa berkumpul disana. Aku merasakan seakan-akan aku berada di kampung, Bahasa Jawa tidak terhindarkan sebagai obrolan sehari-hari.Untuk memasak pun masih memakai kayu bakar. Belajar menghargai alam, tumbuhan sekitar, menghargai manusia yang (maaf) bukan orang kaya. Makan sahur dan berbuka seadanya. Tidak berlebihan. Jauhkan keinginan minum es degan, es campur yang segar. Air putih dan teh hangat nikmat syukur luar biasa. Lauk tahu tempe sambal dan sayuran hasil tanaman berkebun sendiri sudah menjadi makanan yang mewah. Sesekali ada lauk ikan lele hasil kolam sendiri. Alhamdulillah aku belajar bersyukur disaat kami merasakan cukup. Tidak mencari yang tidak ada. Sholat menjadi hal yang utama disana. Adzan selau berkumandang di waktu sholat, lalu semua aktivitas berhenti. Sholat berjamaah menjadi keasyikan tersendiri. Alam yang terbuka menambah keromantisan kami dalam bermunajat dan bersimpuh sujud di hadapanNya. Seoalah-olah kita sedang memeluk Allah melalui alamnya.
Pada akhirnya Ramadhan dengan segala keberkahan nya aku jadikan waktu yang penuh untuk belajar. Sekolah 'khusus'. Sehingga berharap 'lulus' seperti apa yang Allah firmankan ".......... agar kamu bertakwa" [ Q.S. Al-Baqarah : 183 ]. Aamiin.
Wallahu'alam.