Tulisan ini berkisah tentang awal merantau ke Kalimantan sekitar 12 tahun yang lalu. Sekarang sudah pulang kampung
Jika kamu berada di zona tidak nyaman, kegagalan datang, tidak ada kawan berbagi, tidak ada orang tua sebagai tempat mengeluh dan ketika hidup harus berlanjut, siapakah tempatmu kembali dan bersandar?
Kegagalan test BUMN yang membawaku ke Kalimantan menjadi pukulan telak. Aku benar-benar berharap bisa bekerja disana. Apalagi test itu yang menjadi passionku pergi ke Kalimantan.
Disaat yang sama, teman kost kuliahku yang test bareng aku diterima dan bekerja disana. Sungguh beruntung dia dalam pikirku waktu itu. Aku harus mengatur hati, bagaimana harus bersikap. Jujur, sulit untuk bersikap bijak, sabar dan syukur.
Sehari, dua hari pasca kegagalan masih bingung. Ini mau ngapain ya. Mau curhat teman di jawa, takut ganggu dan malu. Aku mencoba merubah sikap, yang dulu lemah terhadap keadaan yang tidak mengenakan sebisa mungkin aku kudu kuat. Kuat dalam artian menahan cerita yang berbau kesedihan. Cerita ke ibu pun aku meyakinkan bahwa aku kokoh bakoh strong.
Seminggu dua minggu berlalu, saatnya move on. Aku baca koran harian setempat, banyak lowongan pekerjaan. Aku masukkan satu persatu surat lamaran pekerjaan. Entah berapa lamaran pekerjaan yang aku kirimkan, mungkin sekitar 30-40an selama aku belum punya pekerjaan.
Menyebar surat lamaran kerja kesana kemari pun juga belum berhasil. Menunggu. Menunggu dering handphone nokia jadul. Menunggu panggilan kerja. Sambil bersih-bersih rumah, mencuci piring dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Bersyukurnya, aku lakukan pekerjaan rumah itu dengan senang hati bukan paksaan atau disuruh. Karena sadar, aku menumpang. Ya itulah caraku untuk berterima kasih karena sudah ditampung dan dibantu.
Secara tidak langsung hal itu menumbuhkan setitik cahaya harapan buatku. Aku ga perlu memikirkan tempat buat tidur, buat makan. Paling mikir hari ini ngapain, hari ini makan apa, masak apa.
Alhasil karena aku belum punya pekerjaan aku masih ikut makan orang. Sepupu yang menghidupiku. Dari makan sampai kadang pulsa teleponku. Ya memang itu sebagian rezekinNya yang diberikan kepadaku. Tetapi malu rasanya. Seorang sarjana masih bergantung hidup sama orang lain.
Memang ga ada sama sekali pikiran untuk berwiraswasta membuka usaha. Sebenarnya jika menilik kultur pola hidup dan ekonomi masyarakat sekitar, sangat terbuka dan sangat berpotensi untuk berwiraswasta.