Angie, perempuan desa yang cantik dan anggun ini mendadak terkenal karena diserang penyakit aneh dan misterius. Namanya menghiasai halaman depan koran-koran ibu kota. Wajahnya kerap tampil dalam berita-berita headline media elektronika. Dalam arena seminar, diskusi, dan bahkan sampai obrolan warung kopi, orang terus menerus memperbincangkan penyakit anehnya itu.
“Kenapa Angie?? Kenapa kamu diam saja??!! Bicaralah! Bicaralah Anakku!!! “ Hampir putus asa Ayah Angie mengupayakan agar anak perempuannya itu kembali mau bicara.
“Angie! Ayolah.. apa yang membuat kamu tiba-tiba membisu!? Bicaralah Angie Anakku sayang” Ibu Angie tampak lebih tenang, tetap sabar meminta anaknya untuk berbicara kembali.
“Kak Angie, Adikmu ini sangat sedih jika kakak tidak lagi bisa berbicara.. ayo Kak.. bicaralah.. please……. Kakak pasti bisa melawan kebisuan ini” Lina, Adik bungsu Angie, matanya berkaca-kaca menahan pilu menemukan kenyataan kakaknya tiba-tiba membisu.
“Angie,masih ingat dengan saya kan? Saya Udin.. saya Udin.. teman akrabmu selama ini, kalau kamu ada beban yang berat, jangan disimpan sendiri, bicaralah bicaralah.. ungkapkan perasaanmu agar terasa lega dan beban bathinmu bisa terlepaskan.. bicaralah sobat… bicaralah Angie…”
“Neng Angie, Ibu ini kepala sekolahmu di SMU dulu… Ibu bangga dengan Angie! Ayolah tunjukkan keceriaanmu sayang, seperti ketika dahulu di sekolah.. mana suara merdumu??”
“Mama… Mama Angie…. adek sedih sekali kalau Mama diam saja.. ayo Mama bicaralah….. Adek kengen dengar suara Mama….” Anak semata wayang Angie bahkan merengek-rengek memintanya bicara. Tetapi lidah Angie tetap keluh, tenggorokannya masih saja kaku. Seperti ada tenaga yang kuat mencekiknya. Ia tetap saja tidak mampu mengeluarkan suara, jangankan berkata-kata, mendesis pun sangat sulit baginya..
Di tengah kebingungan orang orang yang sedang mengerumuninya, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Tok tok tok… tok tok tok…
Ngriiiieeett…. Suara derit itu menandai daun pintu dibuka. Tak lama berselang, lelaki berambut klimis berwajah bersih, dengan senyum yang khas, berjalan menghampiri Angie. Ia tampak membisikkan sesuatu ke telinga Angie.
“Angie, bicaralah jika engkau ingin bicara, tetapi jangan sampai salah bicara.. nanti yang keluar bukan kata melainkan bencana…” Suara bisikan lelaki itu terdengar mendesis tajam, mengiris-iris hati Angie.Tetapi Angie malah mengangguk pelan. Dari raut wajahnya, Angie tetap tidak bisa menyembunyikan dilema.
Sampai tubuh lelaki klimis itu keluar tanpa pamit-pun, Angie belum mampu keluar darijeratan dilemma. Pun, tiba-tiba dari luar kembali terdengar pintu diketuk. Tok tok tok…! Udin yang kebetulan duduk didekat pintu segera membukanya, seketika terdengar derit suara daun pintuitu. Ngriiiieeett…
Seorang betubuh tinggi tegap, sangat berwibawa memasuki ruangan, segera mendekati orang-orang yang sedang mengerumuni Angie..
“Angie.. kamu masih kenal saya kan?” Lelaki tinggi tegap itu langsung bertanya kepada Angie. Suaranya terdengar berat namun sangat berkarisma. Angie tetap tidak mampu berkata-kata. Ia hanya mengangguk pelan..
“Angie,bicaralah sebebas engkau ingin bicara… semua orang ingin mendengar perkataanmu Angie…”
Angie masih diam, tetap tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya mampu mengangguk anggukkan kepalanya, itupun pelan sekali dan bahkan tersamar.
“Angie…” Lelaki tinggi tegap itu melanjutkan pembicaraan..
“bicaralah.. bicaralah… Angie, tidak akan terjadi apapun terhadap dirimu, tidak akanada bencana yang menimpa siapapun.. bicaralah. Kami semua sudah memutuskan untuk memberikan kesempatan bagimu bicara” Suara lelaki tinggi tegap tertahan, setengah berfikir, ia melanjutkan sisa perkataanya..
“….tetapi tidak sedikitpun akan membiarkan dirimu bernyanyi….” Lelaki itupun juga langsung berkelebat, meninggalkan orang-orang yang tetap bertahan mengerumuni Angie..
Tiba-tiba, Lina, Adik bungsu Angie itu ikut bergegas, masuk kamar Angie. Tidak sampai mata berkedip, Lina sudah kembali dengan membawakan gitar untuk Angie. Gitar akuistik dari kayu mahogany itu adalah teman akrab yang setia menemani Angie saat ia mengalami gundah gulana..
“Kak Angie, tidak apalah jika kakak tidak mau bicara.. tetapi setidaknya kakak mau bernyanyi.. bernyanyilah kak… ayo kak…” Lina menyodorkan Mahogany itu, matanya masih saja berkaca-kaca.
Kali ini, Angie memberikan respons, segera dipeluknya gitar itu, erat sekali, seperti ingin melepaskan kerinduan pada seorang kekasih. Jemari tangan kirinya mulai menekan-nekan senardan mebentuk kunci-kunci nada. Bibirnya mulai berketar mengeluarkan patahan patahan bait lagu. Angie pun bernyanyi.. ya Angie bernyanyi !.
Dalam nyanyiannya, suara Angie terdengarmerdu sekali. Orang-orang yang sedari tadi berkerumun tertegun, haru, bahkan diantara mereka ada yang tersedu. Angie yang sempat membisu itu, kini sudah mau berkata dalam nyanyian.
“ANGIE AKHIRNYA BERNYANYI”, demikianlah judul-judul headline Koran hari ini!
TAMAT
Kaki Merapi, 05/05/2012
Cerpen Dhimas Soesastro
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H