Politik uang sudah menjadi masalah biasa di negara dengan sistem pemilu langsung, adanya pemberian barang dan jasa tertentu kepada masyarakat sudah menjadi hal-hal yang biasa terjadi. Praktik ini dianggap seperti bagian dari biaya operasional kampanye, bukan politik uang.
Tidak ada sanksi hukum yang diberikan karena hukum dan peraturan tidak pernah tegas menyikapi praktik semacam itu. Undang–Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota semakin memperparah praktik tersebut, dalam Pasal 73 Ayat (1) Undang-Undang Pilkada justru mengesahkan pembagian uang makan, transportasi, dan hadiah karena dianggap bukan bagian dari politik uang.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang terkait dengan praktik tersebut. Dalam Konferensi Penyelenggaraan Pemilu Se-Asia di Kuta, Bali (22-24 Agustus) lalu, sejumlah perwakilan dari 34 negara peserta bercerita tentang praktik uang yang masih marak di negara masing-masing.
UU yang buruk bukan berarti dapat diturunkan peraturan teknis yang buruk, malah itu dapat membuat Komisi Pemilihan Umum mengatur lebih ketat lagi aturan tentang pengertian dari politik uang.
Di mata dunia, Indonesia dianggap sebagai negara dengan sistem pemilu yang demokratis dan transparan, ironisnya Negara yang menjadi pujian tersebut justru tidak bisa keluar dari zona politik uang yang menghambat terciptanya demokrasi berkualitas.
sumber: (Harian Umum Kompas, 3 September 2016)
Nama : Dhiansa Novianisa S
NIM : 07031381621136
Jurusan: Ilmu Komunikasi
Kampus: Palembang
Kelas : B