Sebagai nubie di media ini, keinginan selalu menulis muncul setelah menikmati tulisan rekan-rekan senior yang lain. Beberapa saat yang lalu, baru saja saya membaca sebuah ulasan menarik berjudul "Pendidikan Karakter Perlu Keteladanan" yang ditulis pak Rasimun Way. Dari profil singkatnya saya menebak bapak ini adalah tenaga pendidik yang beredar di daerah serumpun ngapak* dengan saya. Dari tulisan beliau saya teringat beberapa peristiwa di masa lampau tentang guru.
Dimasa sekolah dari TK hingga Kuliah, saya sangat takjub apa saja yang diketahui oleh Guru atau Dosen saya. Mereka seperti gumpalan ilmu pengetahuan yang akan meledak jika tidak dialirkan secara berkala ke anak-anak didiknya. Mereka adalah sosok idola setelah sosok seorang Bapak dan Ibu. Dengan berjalannya waktu, saatnya saya berusaha menjadi idola bagi anak saya setelah dia sangat manja terhadap Ibunya. Anak saya belum genap 3 tahun, dan di waktu-waktu tertentu saya mulai terbayang, siapakah idolanya setelah saya? apakah tokoh-tokoh kartun yang beberapa kali ia tonton? apakah pemain bola yang sering ia tonton? apakah para guru-gurunya kelak? ataukah para Pahlawan Agama kami? Berjalannya waktu, saya kembali berinteraksi dengan para pengajar-pengajar saya di masa sekolah dulu. Berinteraksi sebagai sesama anggota masyarakat atau sebagai "bekas" anak didiknya. Berjalannya waktu saya tercengang, sebagian dari idola saya tersebut tampaknya bukan seorang teladan yang saya bayangkan. Sebagian idola saya tersebut hampir membuat saya menggeneralisir tenaga pendidik di negeri ini. Apa yang membuat saya kecewa terhadap mereka? Salah satu dari mereka dulu selalu ringan tangan dan kaki, sangat enteng memberikan tendangan dan tempelang ke siswanya. Dan setelah beranjak dewasa dan memiliki seorang anak, saya mempelajari, bahwa kekerasan bukanlah gaya mendidik dari seseorang yang dijadikan teladan. Salah satu dari mereka menertawakan saya saat saya bercerita tentang idealisme adik saya yang baru lulus kuliah dan tidak mau "dibawa" atau "nyogok" untuk mendapatkan pekerjaan dengan instant, kata beliau "jaman sekarang itu harus fleksibel". Dan saya saat itu sudah tahu apa maknanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Beberapa dari mereka menjadikan Siswa-siswinya lahan "ceperan" dengan menjadikan soal bimbel atau LKS yang kebetulan mereka buat menjadi soal test. Dan setelah saya dewasa saya tahu, bahwa sebagian dari mereka tidak menganggap kami anak didik, tetapi mengaggap kami objek "kesejahteraan". Sebenarnya saya juga jengah dengan kenyataan bahwa sebagian dari mereka menenggelamkan nilai-nilai positif dari tenaga pengajar yang lain. Membuat saya berpikir apakah guru-guru kita cukup baik untuk menjadi teladan? Apakah guru-guru yang beredar saat ini cukup baik untuk menjadi teladan anak saya? dan muncul pertanyaan-pertanyaan lain. Kenapa individu seperti ini bisa menyisip ke dunia pendidikan? Apa kabarnya generasi muda bangsa ini? Teringat lagi banyolan seorang dosen "negara ini sudah terlalu rusak, cara yang paling ekstrim adalah menghadapkan orang-orang tua dan para mahasiswa-mahasiswa celana rombeng sok hobi demo yang ga jelas tujuan hidupnya di moncong senapan otomatis. Sisakan saja anak belum nalar di negeri ini. Hanya peradaban baru yang bisa menyelamatkan negeri ini" Dengan kenyataan ini saya dipaksa untuk "siaga". Tidak ada ruang lagi untuk berperan sebagai Pria Galau berjenggot yang selalu menyanyikan lagunya Ayu Ting-Ting. Saya selalu berusaha meyakini bahwa salah satu dan sebagian dari mereka tidak mewakili Guru-guru masa kini. Dimana Guru adalah sebuah pengabdian walaupun bukan lagi keadaan yang tanpa tanda jasa. Dimana Guru bukanlah hanya sebuah profesi dimana tidak ada filosofi "guru tidak merugikan murid dan murid memberikan apa yang dibutuhkan guru". Dengan kenyataan ini saya merasa bersalah bahwa saya hampir membuat justifikasi buruk terhadap semua dari mereka, padahal masih banyak bu Muslimah versi Laskar Pelangi di ujung Indonesia sana, padahal masih ada Yankumi** diluar sana. Berharap sistem pendidikan di negeri ini tidak perlu dirombak dari nol untuk mencari kedinamisan. Berharap para "oknum" perusak citra korps guru bisa dijaring dari peredarannya sebelum mereka beraksi merusak mental anak-anak kita. Berharap para generasi muda calon teladan anak-anak kami tidak selalu disibukkan dengan demo tentang idealisme yang kadang konyol tetapi disibukkan dengan mengisi buntalan tubuh mereka dengan ilmu pengetahuan tanpa kepentingan yang kelak ditumpahkan diruang-ruang semestinya. Berusaha menjadi Teladan bagi anak-anak setelah Teladan-teladan yang maha sempurna para utusan Allah Azza wa Jalla beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. (ad666) Note : * Salah satu logat bahasa Jawa Tengah ** Salah satu tokoh guru dari dorama Jepang berjudul Gokusen yang mengisahkan seorang guru dari keluarga Yakuza, beberapa tulisan tentang film ini [1] Berguru dari film Gokusen tulisan om Jose Hasibuan [2] Gokusen, Bagaimana Menjadi Guru yang Baik tulisan mas Pramudy Arif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H