Lihat ke Halaman Asli

Kalah adalah Kalah

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Untuk seorang suporter bola dadakan seperti saya, angka di papan skor adalah segalanya, kemenangan adalah keharusan. Terserah orang lain berpendapat apa tentang saya. Kekalahan demi kekalahan membuat saya enggan untuk mengikuti perkembangan prestasi Tim Nasional negeri ini. Ditambah lagi intrik dan aktivitas kegiatan gengster di Lembaga yang menaungi olahraga ini. Entah apa yang diributkan.

Karena saya adalah suporter dadakan, kemenangan demi kemenangan Tim Nasional U-23 di penyisihan grup dan semi final menggoda saya untuk kembali menjadi suporter dadakan di partai puncak.

Gol Gunawan menggoda saya untuk berteriak kegirangan, tak perduli tetangga sebelah menertawakan saya. Gol balasan memancing saya mengumpat dengan halus, karena anak saya masih dengan manis memperhatikan reaksi saya. Gol yang dianulir, kesalahan pemain belakang pemain kita atau jegalan kasar dari pemain lawan membuat banyak reaksi-reaksi konyol yang saya lakukan di depan TV.

Dan pada akhirnya kalah.

Kalah adalah kalah. Bukan kemenangan yang tertunda. Bukan juga karena tidak beruntung.

Anak saya sudah tertidur, istri saya baru saja tertidur sesaat setelah kegagalan Ferdinand Sinaga mengeksekusi Penalti.

Tapi entah mengapa, saat Kurnia Meiga nyaris berhasil menghentikan bola tendangan Badrol pemain Malaysia, saya tidak mengumpat. Saya menoleh ke anak saya yang tidur disebelah saya, di depan TV. Tampak luka di bagian pelipis dan pipi kananya. Tadi sore dia terjatuh saat berlari. Lari tanpa bola. Akibat rumput liar di halaman rumah, dia tersungkur jatuh dan mukanya menghantam tanah terlebih dahulu. Menangis. Di saat yang sama ada ulasan tentang Tim Nas U-23 yang sedang berjibaku saat melawan Myanmar. Tampak Egi jatuh bangun dan terus mengejar bola setelah jatuh. Peristiwa itu menghentikan tangis anak saya. Anak saya yang baru 2.5 tahun hanya berkata " kakanya sakit ya pak?" dan saya hanya berkata "pasti sakit, tapi tidak dirasa karena mereka sedang berjuang nak" anak saya kembali menjawab dengan bahasa cedalnya" Awa juga gak sakit blalti awa beljuang ya pak?" "yup, kamu berjuang melawan rasa sakit nak"

Mungkin sekarang belum waktunya menjelaskan kepadamu nak, bahwa kalah adalah kalah. Bukan kemenangan yang tertunda. Jika semua hal bisa tertunda, tidak ada yang namanya tatanan dunia. Kelak kamu harus tahu nak, tidak semua orang diberi kesempatan berjuang dengan apa yang dia miliki untuk negaranya. Saat kamu diberi kesempatan itu kamu harus melupakan rasa sakitnya. Rasa sakit untuk mencapai kepercayaan membela negara, rasa sakit karena kekalahan hingga rasa sakit karena dicemooh orang yang harusnya mempercayaimu atas pengorbananmu.

Ada sebuah dialog yang saya ingat dari film berjudul A Barefoot Dream, kurang lebih artinya " Kemenangan memang menyenangkan, tetapi walaupun kita sekarang kalah selalu ada lain waktu"

Tegakkan kepalau Garuda Muda. Walaupun tidak menyenangkan untuk kalah, masih ada lain waktu.

Saya memang suporter dadakan dan kemenangan adalah segalanya. Saat kalian berhasil memenangkan hati seorang anak yang belum nalar tentang definisi sakit, kalian memenangkan kepercayaan saya. Kepercayaan saya pada kalian saat kalian menjadi panutan anak saya untuk berjuang demi negeri ini, bukan berjuang untuk sebuah pulau, suku bahkan agama. Mungkin kelak kalian berjuang sejajar dengan anak saya. Siapa yang tahu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline