Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan yang Gagal Mendidik

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Akhirnya setelah berkutat dengan rutinitas, kini waktu luang dan santai kugunakan untuk mencari inspirasi tulisan kali ini.

Membahas pendidikan, mungkin lebih menarik.  Mengingat negara kita ini masih menjadi negara berkembang, sudah pasti pendidikan harus menjadi pondasi utama pembangunan bangsa. Tapi nyatanya? Realita menunjukkan minimnya keberpihakan pemerintah dalam upaya menjadikan pendidikan yang manusiawi. Bagaimana maksudnya? Ya sistem pendidikan yang memanusiawikan pesertanya, para murid-murid di sekolah. Bukan rahasia lagi kan, kita para generasi penerus bisa dikatakan sebagai 'korban'.

Yak. Korban. Mungkin kata-kata ini bisa menjelaskan mengapa para peserta didik menjadi korban dalam kebijakan pendidikan itu sendiri.

selamat malam

Saya, seorang mahasiswa dan saya dulu seorang siswa yang pernah merasakan manisnya bangku sekolah. Saya merasakan sendiri bagaimana sistem pendidikan berjalan dengan tidak beres di negeri ini. Dimulai dari jadwal sekolah yang padatnya luar biasa. Jangan salah ya, para pelajar negeri ini 'kerajinan' luar biasa saya rasa. Dipaksa bangun subuh, masuk sekolah dalam keadaan ngantuk. Namun di perjalanan menuju sekolah harus beradu dengan kemacetan yang kian hari kian membuat depresi. Tapi tunggu, apa saya sempat sarapan? Wah ngimpi, haha. Saya datang ke sekolah dalam keadaan lelah, tak memiliki energi untuk memulai hari.

Ditambah jam pulang yang sangat sore dan hampur saya tak memiliki waktu bermain karena dikepung tugas. Memangnya mereka peduli saya butuh waktu untuk bermain? Aatau sekadar bersenang-senang? Tidak. Merasa jenuh? Pasti.

Selain itu, dengan mata kepala saya, ingin saya berteriak hapus saja UN! Jelas-jelas dengan diselenggarakannya UN justru membuat bobrok mental kejujuran generasi kita ini. Jelas sekali saya dan teman-teman saya mendapat beban mental yang sangat berat, antara lulus tidak lulus. Saya dan teman saya memikul harapan banyak orang, tapi apa mereka menghargai perjuangan kami? Tidak.

Setiap hari disogok soal-soal, try out atau apapun itu. Mereka bilang ini demi masa depan kami. Tapi apa masa depan bisa diukur dengan sebuah NEM? Tidak. Dan yang lebih parahnya lagi, saya berpikir apa artinya saya belajar 3 tahun, mrngikuti segala macam try out, toh menjelang UN ternyata sekolah mengizinkan kami menggunakan kunci jawaban yang entahlah benar atau tidak. Dan bodohnya teman-teman saya menjadi sangat bergantung dengan kuci jawaban ini. Segala cara dilakukan, dihalalkan. Memangnya kami diajari untuk jujur? Tidak.

Pengalaman saya hanya sebagian kecil dari apa yang saya rasakan. Ingin saya bertanya dimana pendidikan yang bisa mendidik kami? Bukan yang mengajarkan kami untuk curang, untuk menjadi robot yang diatur-atur, atau menjadi anarkis? Apalah ada? Dimana para menteri pendidikan? Bpak sadar gak bapak lagi buang-buang uang untuk UN yang pada akhirnya hanya melahirkan generasi curang yang menghalalkan segala cara.

Apakah kita akan tetap sepeti ini? Sudikah?

Mari kita ubah paradigma pendidikan bangsa ini. Kita kembangkan pendidikan karakterm bukan pendidikan robot.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline