Ayah, kata demi kata yang kususun dalam sajak ini tak lain tak bukan adalah pelampiasan dari segala rindu yang tak mungkin kita bayar lewat sebuah pertemuan lagi.
Kau dengan surga yang telah mendekapmu erat, dan aku dengan dunia yang pernah kau singgahi dulu.
Ayah, tak bisakah kita sekedar menukar peluk lewat sebuah mimpi? Atau saling berbincang, meski terhalang nisan dan tanah.
Ayah, andaikala aku bisa merekam semua nasihatmu yang selalu abai kudengar di masa-masa nakalku.
Atau sekedar memandangmu seksama, melihat kerut di wajahmu yang harusnya membuatku sadar bahwa begitu kejam hari-hari yang kau lalui untuk keluarga kecil ini.
Hari ini masih sama seperti dulu, matahari masih dengan sinar hangatnya, hujan masih sibuk membasahi hati yang kering dan awan pun kadang biru kadang kelabu.
Hari-hariku masih sama, dengan segala kesibukan dan kehidupan yang terus menemapku, membentuk karakterku perlahan dan menjadikanku kebal dengan segala kerikil yang ada.
Hanya saja, ayah, ada kalanya dimana aku begitu merindukanmu, segala waktu bersamamu yang telah menemani 19 tahunku, caramu mencintaiku yang sedikit kumengerti.
Sudah berapa ribu doa dan airmata yang kerap kulepaskan, demi rindu yang tak pernah terlampiaskan. Sudah berapa banyak kenangan yang dipaksa diputar, karena kita sudah tidak diizinkan menciptakan kenangan baru lagi.
Ayah, hadirlah ke mimpiku. Peluk aku sebentar, usap tangisku sejenak. Bawa pergi semua rindu yang telah menggunung ini. Beri aku sayapmu. Beri aku ketegaranmu ntuk menghadapi hari-hari tanpamu.
Tangerang Selatan, 11 Oktober 2016