Lihat ke Halaman Asli

Anak-anak Pengemis Itulah yang Patut Dicemaskan

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbicara mengenai apa yang perlu diubah dari Indonesia, hal yang pertama akan saya utarakan adalah pendidikan karakter! Wajar saja bila Bung Karno, Bapak Proklamator kita kerap kali menekankan pentingnya pendidikan karakter untuk kemajuan bangsa, bisa kita bayangkan bila seseorang memiliki jabatan berpengaruh tanpa memiliki karakter yang baik? Yah hasilnya adalah koruptor-koruptor yang tak tahu malu yang masih bisa tersenyum di depan layar kaca tanpa ada rasa malu sedikitpun.

Mengapa karakter penting? Karakter adalah hal mendasar yang mempengaruhi bagaimana seseorang bertingkah laku, mengambil keputusan dan yang terpenting karakter menentukan jati diri seseorang itu. Menunjukkan siapa dia. Orang hebat lahir karena memiliki karakter yang hebat pula. Orang biasa saja lahir karena karakternya yang memang biasa saja. Orang buruk lahir dari karakter yang tidak dibina dengan baik.

Bagaimana karakter terbentuk? Keluarga adalah tempat pertama terbentuknya karakter seseorang. Orang tua mengajarkan, anak meniru, orang tua bersikap, anak pun ikut menirunya. Bagai kertas putih yang belum memiliki goresan apapun, seperti itulah gambaran seorang anak. Lalu bagaimana dengan anak dengan orang tua yang ‘bekerja’ sebagai pengemis?

Bukan hal asing lagi bagi kita, melihat seorang anak kecil, dengan wajah kusam mereka, dilapisi kain pakaian yang lusuh sembari bertelanjang kaki, yang menyusuri lampu merah, warung-warung, mushola dan tempat umum lainnya, menghampiri orang-orang, mengharap belas kasih mereka. Rasanya tak tega melihat mereka yang seharusnya bermain, duduk di sekolah, justru harus berhadapan dengan kebisingan jalan raya dan debu yang mengotori wajah. Dimanakah orang tua mereka?

Jika kita memilih untuk memberi uang pada pengemis anak itu, tanpa sadar kita telah ambil andil dalam membentuk mental peminta-peminta pada anak itu. Semakin banyak yang memberi, semakin yakin si anak bahwa ternyata mendapatkan uang ‘segampang ini’. Disini tercipta sebuah mindset yang akhirnya membentuk karakter pengemis pada anak. Karakter adalah bagian dari diri seseorang, yang sulit untuk diubah. Bila meminta-minta bisa mendapatkan uang, mengapa harus susah-susah bekerja? Bayangkan, hal ini terjadi pada semua anak pengemis. Maka terciptalah mata rantai pengemis yang tak akan terputus. Melahirkan pengemis-pengemis baru di masa depan.

Bukan maksud saya menghambat kawan-kawan untuk beramal, namun alangkah baiknya kita memberi ‘pelajaran’ pada sang anak bahwa mencari rezeki bukan disini tempatnya. Toh, menyalurkan amal di lembaga-lembaga amal yang resmi jauh lebih baik, kan? Kita memiliki peran social dalam memutuskan rantai pengemis ini. Jangan biarkan anak-anak ini kelak akan mengikuti jejak orangtuanya mengemis. Mereka berhak untuk masa depan yang lebih baik.

Bagi orang tua, silahkan anda mengemis. Tapi jangan pernah mengajak apalagi mengajarkan pada anak anda untuk mengemis. Biarkan anak belajar bahwa rezeki dijemput dengan usaha, bukan menengadahkan tangan. Tangan diatas jauh lebih mulia daripada tangan dibawah, kan?

Depok, 04 Oktober 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline