Menyaksikan pemutaran film LIMA awal Juni lalu atas undangan Shop Back Indonesia dan Mitsubishi Motors Indonesia bersama rekan-rekan blogger dari berbagai komunitas membuat saya seakan terlempar kembali ke beberapa peristiwa dalam hidup saya di masa lampau yang mirip sekali dengan berbagai adegan dalam film ini.
Film omnibus yang disutradarai lima sutradara ini bercerita tentang konflik yang dialami para tokoh utamanya yang dikaitkan dengan lima sila dalam Pancasila dan bagaimana sesungguhnya Pancasila dapat dijadikan pedoman dan pegangan hidup para tokohnya dalam menyelesaikan berbagai konflik yang mereka alami.
Di awal cerita, salah satu tokoh utama yang nonmuslim mempertanyakan haknya untuk memakamkan sang ibu yang muslim. Kegalauan beberapa tokoh utama lain yang terkait berkenaan dengan boleh tidaknya hal ini dilakukan ditinjau dari segi agama yang diyakini versus wujud bakti seorang anak kepada orang tuanya. Kejadian ini mirip sekali dengan pemakaman Embah putri saya yang muslim tahun 2012 yang lalu dimana beliau meminta agar suami saya yang menganut Hindu dapat mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Seperti juga dalam film ini, sempat terjadi pertentangan dalam keluarga kami. Tapi keputusan yang diambil adalah menghormati keinginan Almarhumah dan menjalankan bakti sebagai seorang cucu yang mencintai dan menghormati neneknya. Karena dalam lubuk hati kami yang terdalam kami meyakini bahwa kami menyembah Tuhan yang satu. Tuhan yang sama. Tuhan Yang Maha Esa.
Konflik kedua dalam film ini adalah tentang pergolakan batin salah satu tokoh utamanya saat menyaksikan seseorang harus kehilangan nyawa oleh sekelompok orang yang main hakim sendiri. Sekelompok orang yang ingin menunjukkan kekuasaaannya, yang lebih mengutamakan ego serta melampiaskan rasa frustrasi akan diri mereka sendiri kepada orang lain yang belum tentu bersalah atau mungkin hanya melakukan kesalahan sepele. Sehingga lupa untuk menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, sehingga lupa untuk berperilaku sebagai makhluk yang beradab, sehingga lupa bahwa manusia lain juga adalah ciptaan Tuhan dan bahwa kematian adalah melulu hak prerogatif Tuhan.
Sama seperti yang saat ini tengah terjadi pada bangsa ini. Sekelompok orang yang lupa bahwa Indonesia adalah rumah kita bersama, sekelompok orang yang lupa akan jati diri mereka sendiri sebagai anak bangsa melakukan berbagai upaya, menghalalkan segala cara untuk dapat meraih apa saja sebanyak yang mereka bisa dengan tidak hanya mengorbankan nyawa orang lain tetapi juga mengorbankan harkat dan martabatnya sendiri sebagai manusia yang sesungguhnya memiliki kedudukan sebagai makhluk termulia di muka bumi ini.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita mudah sekali terpancing emosi. Lupa pada diri sendiri yang juga terkadang melakukan hal-hal bodoh tanpa disadari. Padahal jika kita cukup mawas diri, banyak hal-hal kecil yang hanya perlu dimaklumi, diperbaiki tanpa harus meluapkan emosi ke segala arah yang akan berbuntut kepada kerugian bagi diri sendiri.
Konflik ketiga dialami salah seorang tokoh utama lainnya, seorang pelatih olah raga renang yang harus memilih anak didiknya untuk bertarung di kancah internasional berdasarkan ras (baca : pribumi). Bukan berdasarkan prestasi yang dimiliki. Bukan pula pada cara dia berperilaku.
Integritas terhadap pekerjaan yang dilakoninya membuat sang tokoh memilih untuk mengundurkan diri daripada bertindak tidak adil dan membohongi hati nurani. Walaupun konflik tersebut pada akhirnya terselesaikan dengan penolakan para anak didik berbeda ras (baca : pribumi dan non pribumi) dari sang tokoh untuk saling berseteru tapi malah memilih untuk bersatu dan bersama-sama mengharumkan nama bangsa.
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya arti rasa persatuan yang merupakan cerminan sila ketiga, dalam mengatasi konflik bernama perbedaan. Persatuan, yang akhir-akhir ini terasa makin menipis karena adanya perbedaan ideologi, yang melebar menjadi isu perbedaan agama, ras dan suku bangsa. Yang pada dasarnya adalah konflik kepentingan dan perebutan kekuasaan.
Apakah kamu menyadarinya? Bahwa perbedaan adalah hal yang mutlak ada dalam kehidupan, bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang harus dibesar-besarkan sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan? Sehingga isunya dengan mudah ditunggangi oleh berbagai kepentingan? Bahwa perbedaan yang ada seharusnya menjadi sumber kekuatan. Yang membuat kita menjadi pribadi yang lebih dewasa, lebih peka serta membuat hidup kita lebih kaya dan berwarna.
Konflik keempat tentang perselisihan akibat praduga yang timbul saat pembagian hak waris beberapa tokoh utama sepeninggal ibu mereka yang berhasil diatasi dengan jalan diplomasi ; musyawarah untuk mufakat. Yang merupakan cerminan sila keempat dari Pancasila : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.