Dua buah mobil baru saja melintas saat saya bergegas memasuki pelataran sebuah gedung bergaya Belanda. Pukul 10.35. Dan janji temu saya hari itu jam 11.00. Hm..aman. Pilar-pilar yang berdiri kokoh di depan teras serta dua buah pintu berukuran besar yang khas sekali selalu ada pada bangunan-bangunan kuno bergaya Belanda langsung membuat saya teringat akan rumah yang didiami Embah Kakung dan Embah Putri saya di Cirebon. Yang juga saya tinggali selama 17 tahun di awal kehidupan saya.
Seorang satpam berwajah ramah, melambaikan tangan, menyapa dan mempersilahkan saya untuk masuk. Hampir saja saya tidak bisa menahan diri untuk memeluk salah satu pilar yang saya lewati dan menempelkan pipi saya ke temboknya - seperti yang selalu saya lakukan saat pulang ke rumah Embah. Rumah yang juga bergaya Belanda, dengan dua pilar besar yang lingkarnya makin lama makin mengecil seiring dengan membesarnya tubuh saya, dua balkon yang jadi tempat main perang-perangan atau tempat nongkrong saya dan teman-teman sekolah dulu dan tiga buah pintu besar berwarna abu-abu pucat yang warnanya terkadang terlihat mirip warna Terasi. Merasakan dinginnya tembok yang menempel di pipi, sambil menyapa rumah yang pernah saya tinggali itu dan bilang "Hey, saya pulang" Tidak peduli apakah tembok yang saya peluk itu berdebu atau tidak. Tidak peduli apakah tembok itu akan membuat saya jerawatan atau cemong. Yang penting saya bisa merasakan kehangatan yang mengalir dalam hati dari tiang yang saya peluk dan dinginnya tembok yang menempel di pipi saya. Lah kok ngelantur...
Memasuki ruangan demi ruangan yang sangat bau rumah kuno sambil menyentuhi dindingnya yang dingin, memperhatikan ubinnya yang pastinya sudah tidak ada lagi di pasaran, kursi-kursi dan meja-meja antik serta sepeda ontel tandem, membangkitkan kenangan tersendiri bagi saya. Dominasi warna merah, lukisan-lukisan yang menggambarkan aktivitas masyarakat Cina tempo dulu tergantung hampir di semua dindingnya. Juga kaligrafi Cina yang menggambarkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan, lampion-lampion merah yang bergelantungan di smoking area, guci-guci kuno dan furniture yang ditata khusus memberikan kesan pengaruh Tionghoa pada seluruh ruangan. Tentu saja, hidangan yang ditawarkan oleh Kedai Sirih Merah ini kan hidangan peranakan Tionghoa. Tepatnya Melayu Tionghoa.
Sekilas tentang Kedai Sirih Merah
Menurut sang pemilik, Siska Leonita, sebelum berlokasi di tempat yang sekarang Jl. Taman Kebon Sirih 1 No. 5, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lokasi Kedai Sirih Merah adalah di Jl. Wahid Hasyim, waktu itu namanya Kedai Tuan Nyonya. Tapi karena lokasi dirasakan kurang pas, Desember 2015 Kedai Sirih Merah pindah ke alamat yang sekarang, di seberang Gedung Bank Indonesia, arah Tanah Abang -- dekat Hotel Take Mansion.
Penamaannya sendiri, Sirih Merah diambil dari nama jalan di mana Kedai ini berada, Jl. Taman Kebon Sirih yang digabungkan dengan daun Sirih Merah yang konon memiliki banyak khasiat bagi kesehatan.
Selain karena kegemarannya akan makanan peranakan yang tidak mudah didapat di jaman sekarang ini, Siska Leonita juga ingin melestarikan hidangan peranakan Melayu Tionghoa serta berbagi sensasi dalam menikmati berbagai hidangan khas peranakan Melayu Tionghoa ini.
Hidangan Peranakan di Kedai Sirih Merah
Hidangan peranakan yang ditawarkan oleh Kedai Sirih Merah ini ada sekitar 99 jenis. Menurut mas Yadi, selaku Store Manager pengurangan menu sudah diupayakan beberapa kali agar rasa dari menu-menu yang disajikan tetap terjaga tetapi karena tingginya permintaan dari konsumen, beberapa menu berulang kali dibongkar pasang. Penasaran kan kenapa bisa begitu? Tadinya saya juga merasa begitu, tapi setelah mencoba berbagai menu yang ditawarkan di sana, memang tidak mudah menentukan mana yang benar-benar menjadi favorit saya.
Selain memiliki menu pembuka seperti Tahu Goreng Petis, Tahu Pong, Lumpia Ayam, Lumpia Udang, Tempe Goreng Tepung dan lainnya, menu andalan Kedai Sirih Merah yang harus kudu musti kamu coba adalah :
1. Asam-asam Iga