Lihat ke Halaman Asli

Harapan

Diperbarui: 3 November 2015   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammă Sambuddhassa (3x)

“ Manopubbangamă dhammă – Manosetthă manomayă
manasă ce padutthenă – bhăsati vă karoti vă
tato nam dukkhamanveti ~ cakkam va vahato padam”

Pikiran mendahului semua kondisi batin, pikiran adalah pemimpin,
Segalanya diciptakan oleh pikiran~ Apabila dengan pikiran yg jahat
seseorang berbicara atau berbuat dengan jasmani,maka penderitaan
akan mengikuti si pelaku karenanya,seperti roda kereta yg mengikuti
jejak kaki lembu jantan yang menariknya.
                                                                                    (Dhammapada 1:1 = 1)

Ketika kita mengalami kesedihan sebagai ujud Kesunyataan pertama “adanya dukkha” (penderitaan), maka kita menyadari adanya Tilakkhana (tiga corak umum), bahwa kesedihan tidak akan langgeng karena adanya “anicca” (perubahan). Disitulah harapan muncul.
Bukan melulu karena sedih kita punya harapan. Dengan usaha nyata, harapan diperhitungkan terwujud karena berhasilnya suatu rencana. (planning) Dengan usaha batin, dengan perhitungan akan adanya buah karma yang baik harapan juga bisa dicapai. Harapan demikian jadi abstrak sifatnya, usaha yang didasari sugesti secara kuat, akan terwujud. Wujud demikian bukannya karena keajaiban, namun karena masaknya karma yang baik atau adanya kemungkinan karena pertolongan mahluk lain.

Ketika Pangeran Siddhartha bertemu “empat kejadian” yang menimbulkan keinginan untuk mencari cara membebaskan penderitaan semua mahkluk, maka dengan kekuatan pikir yang beliau miliki, dibuatnya planning untuk mendapatkannya. Itu suatu systematis berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, Harapan yang direncanakan terwujud. Melalui suatu proses, Pangeran Siddhartha mencapai Penerangan Agung menjadi Buddha pada 588 tahun sebelum Masehi.
Untuk memproses suatu harapan, pertama kali yang wajib diingat oleh umat Buddha adalah ayat pertama Kitab Dhammapada yang menyatakan bahwa “pikiran mendahului semua kondisi batin”. Perlu direnungkan pula bahwa apabila dengan pikiran yang jahat seseorang berbicara atau berbuat dengan jasmani, maka penderitaan akan mengkuti si pelaku. Selanjutnya dalam ayat 2 ada penjelasan kebalikannya, apabila dengan pikiran bersih seseorang berbicara atau berbuat dengan jasmani, maka kebahagiaan akan mengikuti si pelaku.

Dengan kekuatan pikiran, dengan keteguhan batin maka harapan akan terwujud. Itu merupakan cita-cita setiap manusia. Untuk mengatisipasi terwujudnya suatu harapan kita perlu punya panna (kebijaksanaan| yang diperoleh dengan melaksanakan sila (peraturan) dan bhavana (konsentrasi/meditasi) Itulah praktek ajaran Buddha. Praktek yang dilakukan bukan hanya dalam kehidupan sebagai manusia, namun kehidupan sebagai makhluk apapun.
Berkaitan dengan perayaan musim gugur di Negeri Tiongkok, diceriterakan bahwa ada seekor kelinci melatih dana paramita.
Paramita ada sepuluh, kali ini sang kelinci melatih salahsatunya, yaitu “dana paramita”. Dengan kekuatan adhitthana (tekad) dia akan memberikan kepada mahkluk lain pada suatu hari uposatha yg waktu itu diceriterakan terjadi purnama. Karena tekad memberikan makanan, makanan akan diberikan kepada yang datang membutuhkan.

Yang datang adalah seorang pertapa, lapar. Tekad kelinci laksana batu karang, teguh tanpa ada yang bisa menggoyahkan. Persediaan makan kelinci adalah rumput, maka dia minta si petapa membuat api. Ketika api sudah cukup besar menyala, kelinci berpesan pada pertapa agar sebentar lagi menikmati daging kelinci. Si kelinci melompat ke dalam api. Pertapa yang sebenarnya adalah perwujudan Dewa Sakkha dengan sigap menangkap tubuh kelinci, sehingga kelinci tak menjadi daging untuk dimakan. Ceritanya, dengan kekuatan Dewa Sakkha, maka dia melukiskan kelinci pada bulan sehingga setiap purnama kita bisa melihat gambar kelinci. Sang kelinci adalah kehidupan lampau Pangeran Siddhartha. Itulah cerita rakyat Tiongkok pada peryaan kuwe rembulan sebagai perayaan musim gugur setiap tahun pada purnama bulan delapan menurut penanggalan Imlek Tionghoa. Suatu harapan untuk menjadi Buddha yang diplanning beratus tahun didasari tekad yang kuat, pikiran yang kuat, sila, samadhi dan panna yang kuat terwujud pada 588 tahun SM di Bodh Gaya pada purnama pada bulan Asadha.

Marilah kita terapkan harapan sesuai “takaran” kita, dengan melaksanakan Sila, Samadhi dan Panna kita akan dapatkan Perlindungan Sejati untuk membebaskan diri dari dukkha.
Sabbe satta bhavantu sukhitattă.
Semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu.

ringkasan dhammadesana (khotbah) di Vihara Tanah Putih – Semarang
4 Oktober 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline