Lihat ke Halaman Asli

"Emang Kenapa Harus Dukung Wilfrida? Kan Banyak TKI Dihukum Mati"

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1380034155419098549

Komentar teman saya itu menohok. Setelah bermalam-malam tidur larut, pulang dengan pikiran yang lelah, banyak waktu yang tersita, saya merasa gagal. Bukan orang lain, tapi justru orang dekat saya yang 'tak tercerahkan'. Kala itu saya bercerita tentang seorang gadis yang belum genap 17 tahun ketika dikirim ke Malaysia, dan kini di usia 20 tahun terancam hukuman mati. Ia membunuh majikannya setelah dipukuli bertubi-tubi, disiksa, tak dianggap manusia. Wilfrida Soik namanya. Klise ya ceritanya. Banyak ya kisah seperti itu. Lantas, apa yang istimewa? Di masyarakat yang terindividualisasikan seperti sekarang, membangun empati dan solidaritas sama pentingnya dengan menghidupkan hidup itu sendiri. Wilfrida, sampai Anis Hidayah membuat petisi #saveWilfrida, belum pernah ditengok sekalipun oleh pihak Kedubes Indonesia di Malaysia. Betapa ketakutan dirinya akan nasib yang tak pasti. Bayangkan perasaannya yang bahkan tak pernah membayangkan harus menghadapi tiang gantungan di usia muda. Ih kalau inget Wilfrida, rasanya berdosa banget kalau nggak ikut melakukan sesuatu. Gerakan dan dukungan yang semakin menjalar ini bukan hanya dilakukan untuk Wilfirda. Tapi secara khusus juga ditujukan untuk mengasah empati kita. Banyak perubahan sosial yang terjadi berakar dari kegelisahan kita akan tidak berjalannya sistem. Ya sistem kemasyarakatan, sistem keadilan, sistem politik, apapun. Kegelisahan itu seperti bisul yang membuat kita tak jenak. Lantas bergerak. "Yaaa... Baguslah kalau gitu. Jadi (aku) nggak perlu tanda tangan (petisi) kan. Tinggal tunggu aja beritanya. Intinya... Urus diri sendiri sendiri aja demi kehidupan masing-masing," kata teman saya yang lainnya, juga terhadap masalah yang sama. Okelah perasaan sedih saya nggak usah dihitung waktu denger teman saya itu. Tapi kawan, kalau nggak ada yang bergerak ya nggak ada perubahan. Teman saya itu barangkali sudah muak dengan program-program, janji-janji, visi-visi yang dilontarkan banyak politisi, organisasi, kelompok kepentingan. Tapi di sini kita harus bedakan apolitis dengan apatis. Sebagian besar kelas menengah yang udah nyaman sih emang susah tergerak kecuali itu menyangkut kepentingannya. Jika Wilfrida adalah kakak kamu, adik kamu, tetangga kamu, atau bahkan jika Wilfrida adalah kamu, apakah pendapat itu tetap sama? Apa yang kamu rasakan jika tahu ada orang-orang yang dengan sengaja memilih untuk tidak peduli? Perang kita sesungguhnya, kawan, adalah perang melawan apatisme. Terutama di tubuh anak muda (juga mantan anak muda!). Untuk komentar teman-teman saya itu, saya hanya bisa berkata, "Bro, kata Tan Malaka, idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline