Lihat ke Halaman Asli

Working Class Heroes, Wiji Thukul, dan Tukul Arwana (catatan kecil di Hari Buruh 2012)

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BURUH-BURUH
(Wiji Thukul)

di batas desa
pagi - pagi
dijemput truk
dihitung seperti pesakitan
diangkut ke pabrik
begitu seterusnya

mesin terus berputar
pabrik harus berproduksi
pulang malam
badan loyo
nasi dingin

bagaimana kalau anak sakit
bagaimana obat
bagaimana dokter
bagaimana rumah sakit
bagaimana uang
bagaimana gaji
bagaimana pabrik? mogok?
pecat! mesin tak boleh berhenti
maka mengalirlah tenaga murah
mbak ayu kakang dari desa

disedot
sampai pucat
(solo, 4-86)

Kubaca puisi ini pada pagi tadi. Lalu melintas tanya iseng di kepalaku, apa jadinya kalau aku membuat pertanyaan ke sejumlah orang: "Tahu Wiji Thukul ga?" Maka kubayangkan akan kudapat jawaban seperti ini:
A: Taulah..."kembali ke laptop"
B: Wiji Thukul? Tukul Arwana maksudnya?
C: Tau, yang bawain Empat Mata itu kan?
D: "Think quick!"

Lalu aku teringatkan pada lagunya John Lennon, Working Class Hero. Kubuka folder koleksi The Beatles-ku, kuputar dan kudengarkan. "A working class hero is something to be," begitu katanya.

Apakah kita selalu butuh pahlawan? Barangkali. Barangkali kita memang membutuhkan sosok yang setidaknya mampu menumbuhkan gairah, mengembalikan semangat yang melemah karena benturan keadaan, mengingatkan idealisme semula, mempertahankan mimpi-mimpi yang dalam dunia nyata bagai utopia semata. Pertanyaannya: pahlawan yang seperti apa?

Berangkat dari pertanyaan iseng sebelumnya, mencoba melihat dua sosok yang kebetulan memiliki sejumlah kemiripan: Wiji Thukul dan Tukul Arwana.

Kedua laki-laki ini lahir dari provinsi yang sama, Jawa Tengah. Wiji Thukul yang lahir di Solo, hanya selisih 2 bulan lebih tua dibandingkan Tukul Arwana. Mereka lahir di tahun yang sama. Keduanya berangkat dari kalangan yang terbatas secara finansial. Saat keluarganya kesulitan membiayai sekolahnya, Thukul Arwana (lahir di Semarang, 16 Oktober 1963) berkeliaran di jalan menjadi sopir angkutan. Selain itu laki-laki yang lahir dengan nama Riyanto ini juga memanfaatkan kemampuannya melawak untuk menyokong kebutuhan ekonomi keluarganya. Keadaan yang tak kunjung membaik membuatnya berpikir untuk hijrah ke Jakarta. Mengubah nasib di ibukota, seperti harapan banyak orang.

Nasib baik memang berpihak padanya. Meski tidak berjalan mulus, akhirnya Tukul mengalami perjumpaan dengan media massa: menjadi penyiar radio, bintang video klip, hingga bergabung dengan Srimulat. Kemampuannya yang cepat menemukan ide segar merespon banyolan ditangkap dengan baik oleh pengelola media tv yang lalu memberinya sebuah ruang khusus. Maka berkibarlah namanya. Lalu seperti lazimnya media yang telah menjadi industri, hukum pasar pun berlaku. Minat pasar yang besar, rating yang tinggi, jam tayangpun ditambah. Keunikan itupun hilang. Tayangan itu di mataku tak ubahnya tontonan populer yang menjemukan. Terlebih ketika perempuan lebih banyak diposisikan sebagai objek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline