Lihat ke Halaman Asli

Menunda Konsumsi Demi Bumi (Refleksi Hari Bumi 2012)

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pemanasan global telah menjadi isu penting dalam beberapa tahun terakhir. Dengan starting point yang berbeda, semua negara menunjukkan andilnya dalam upaya penyelamatan lingkungan global. Politisi bergerak. Kaum selebritas tak mau ketinggalan. Media massa apalagi. Lembaga swadaya masyarakat yang sudah lama berkiprah di isu lingkungan seolah mendapatkan angin segar; yang baru pun tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Semua ingin ambil bagian menggarap isu lingkungan. Maka isu yang awalnya tak seksi inipun seolah telah menjadi menu wajib. Keserempakan ini bagaimanapun membuahkan hasil positif. Spreading informasi berlangsung dengan kencang, pesan tersampaikan secara luas dan masif. Apakah tujuan dari penggarapan isu ini dapat disebut berhasil?

Di satu sisi penyebarluasan gagasan peduli lingkungan dapat dikatakan berhasil. Namun di sisi lain isu itu akhirnya hanya mengapung sebatas wacana. Apa yang bisa saya lakukan? Begitu pertanyaan para eksekutif muda yang menjalankan rutinitas kerja office hour, mapan, jauh dari persoalan lingkungan yang kompleks, tinggal di kawasan yang serba bersih dan terurus. Perilaku ramah lingkungan adalah sebuah revolusi, perubahan radikal yang dilakukan secara total. Namun revolusi di sini tidak harus me-massa melainkan dapat menjadi revolusi secara individu, perubahan dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru yang sama sekali berbeda. Perubahan radikal masing-masing individu tidak harus sama. Intinya adalah komitmen untuk bergerak dan berubah. Karena terlibat dalam pernyelamatan lingkungan bukanlah sebuah pilihan melainkan kewajiban setiap penghuni bumi. Tak ada alasan untuk menolak, terlebih kalangan kelas menengah yang notabene memiliki tingkat pemahaman lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat bawah yang merupakan segmen terbesar negeri ini. Namun sebagaimana kata bijak Leonardo da Vinci (1452-1519), ilmuwan era Renaisans yang terkesan dengan urgensi tindakan: “Memahami tidaklah cukup, kita harus mengaplikasikannya dengan bekerja…” Dan bekerja diartikan sebagai sebuah tindakan aktif.

Menunda konsumsi

Sebuah dongeng klasik datang dari Mohamad Hatta. Wakil Presiden pertama RI ini sangat menginginkan sepatu Bally yang sempat dilihatnya di sebuah toko. Lantas ia pun mencari iklan Bally di koran, mengguntingnya dan menyisipkan di meja kerjanya. Bung Hatta adalah wakil presiden. Ia bisa menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Apalah artinya sepasang sepatu, semahal apapun harganya? Tapi Bung Hatta memilih untuk menahan diri. Bapak proklamasi ini memilih “tunda konsumsi” sebagai sikap hidup.

Ada pepatah lama yang mengatakan: “tak ada rotan, akar pun jadi”. Barangkali saat di bangku sekolah dasar pepatah itu hanya sekedar hafalan. Tak heran jika lantas hanya mengendap sebatas ingatan. Tanpa aksi. Padahal pepatah tersebut mengajarkan tentang alternatif. Ketika rotan tidak ada dan hanya akar yang tersedia, maka itupun dapat dimanfaatkan.  Seperti tenggelamnya makna si pepatah, kata alternatif pun dianggap terlalu rumit. Karena semua serba ada. Karena semua bisa diperoleh. Bahkan akhirnya bukan sebatas menemukan yang sedang dibutuhkan tapi sekaligus melengkapinya dengan yang diinginkan. Bias antara kebutuhan dan keinginan. Terlebih lagi dengan begitu besarnya godaan iklan: produk fashion keluaran terbaru, kosmetik yang sanggup menyulap pemakainya bak bintang, produk-produk elektronik yang menawarkan fungsi dan model paling mutakhir, bermacam jenis makanan dengan berjuta kenikmatan, perumahan dengan konsep menarik, dan masih banyak tawaran menggiurkan lainnya. Tujuannya hanya tiga: (1) belanja! (2) belanja! dan (3) belanja!

Dalam Psikologi perilaku konsumtif ini dikenal sebagai compulsive buying disorder atau penyakit kecanduan belanja. Penderitanya tidak menyadari dirinya terjebak dalam kubangan metamorfosa antara keinginan dan kebutuhan. Penyakit ini bisa menyerang siapa saja, perempuan atau laki-laki. Sementara itu rilis Bank Dunia 2011 menyebutkan jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 134 juta. Dari angka tersebut, lembaga survey AC Nielsen menambahkan bahwa dari 134 juta itu 29 juta diantaranya merupakan warga menengah premium alias “OKB” atau orang kaya baru. Data lanjutan yang dikeluarkan oleh AC Nielsen adalah jumlah pengeluaran atau belanja: pakaian dan alas kaki mencapai 113,4 triliun, perlengkapan rumah tangga 194,4 triliun, belanja ke luar negeri 59 triliun, dan transportasi 238,6 triliun rupiah. Masing-masing aktivitas dan konsumsi barang produksi tersebut menyisakan jejak karbon dengan tingkatan yang berbeda. Semakin lama proses produksi, semakin jauh jarak produksi, semakin besar jumlah konsumsi maka jejak karbon yang ditinggalkan pun semakin besar. Dengan asumsi peningkatan jumlah kelas menengah 9 juta per tahun dan compulsive buying disorder yang berjalan beriringan, berapa banyak jejak karbon yang akan menyumbang kehancuran bumi ini? Maka salah satu revolusi hijau itu adalah: menunda konsumsi.

Pilah dan zakat sampah

Menunda konsumsi merupakan salah satu bagian dari upaya penyelamatan lingkungan yang terangkum dalm 3R, yakni, reduce. Menunda konsumsi sama dengan mengurangi produksi sampah. R lainnya adalah reuse dan recycle, ditambah lagi dengan R lain yang kurang banyak dibicarakan yakni replace dan replant. Anggap saja yang sangat mungkin dilakukan adalah “menunda konsumsi” karena upaya lainnya dianggap masih terlalu rumit. Mari permudah dengan sebuah pilihan: memilah sampah, memisahkan sampah yang masih bisa digunakan kembali dan atau didaur ulang. Setelah dipilah lantas dikemanakan?

Adalah Wahyu Praptiningsih, pendiri sekolah hijau yang mengenalkan istilah Zakat Sampah. Konsep ini sendiri muncul pada tahun 2008 saat ia tidak mampu membayar zakat. Kejeliannya menatap sampah produksi warung kecilnya, membuahkan pikiran alternatif untuk menjadikannya barang yang memiliki harga. Alhasil sebuah dompet sederhana terbuat dari bungkus mi dan kopi instan berhasil ia buat dan dibeli seorang kawan seharga 100 ribu rupiah. Dengan uang itulah ia membeli beras 2,5 kilogram untuk zakat. Sejak tahun itu juga ia mengenalkan konsep zakat sampah ini ke teman dan komunitas-komunitas yang dikenalnya. Kini ada 26 kota dan kabupaten di Jawa Barat yang tergabung dalam jaringan kerja sahabat Sekolah Hijau. Di Jakarta, meski belum terorganisir dengan baik namun ada beberapa komunitas yang sudah melakukan pengumpulan zakat sampah.

Cerita di atas hanya ilustrasi bahwa selalu ada cara untuk menjadi bagian dari upaya penyelamatan bumi. Bahkan sekedar menggunakan air seperlunya, mematikan listrik ketika sudah tidak terpakai, memilih alat transportasi umum daripada kendaraan pribadi, dsb. Dan kembali ke cerita Bung Hatta: apakah ia akhirnya berhasil mendapatkan sepatu Bally yang diidamkannya? Jawabannya adalah tidak. Ketika berhasil menyisihkan jumlah uang sesuai harga sepatu, ia berubah pikiran, membelikan barang yang diidamkan istrinya tercinta, Rahmi: mesin jahit! Hingga akhir hidupnya Bung Hatta tidak pernah kesampaian memiliki sepatu Bally.

dari sejumlah referensi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline