Lihat ke Halaman Asli

Mengunjungi Bali Dwipa (1)

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pura Purusada Kapal

Ini adalah perjalananku ke Bali akhir Agustus lalu. Catatan yang sangat terlambat memang. Tapi daripada hanya ada dalam ingatan, baiknya kutulis saja. Barangkali ada yang perlu rekomendasi untuk jalan-jalan ke Pulau Dewata itu. Terutama bagi yang tak ingin sekedar menjelajah kota dan pantai di Bali, tapi juga menjelajahi sejarahnya.

Ini sekedar catatan perjalanan, bukan karya jurnalistik ketat dengan referensi yang jelas. Beberapa informasi kudapatkan dari kawan pemandu, Mas Narto, dan pemilik kendaraan yang memang asli Bali, Bli Ketut. Selebihnya kudapat dari kutip sana-sini dari berbagai sumber yang bertebaran di dunia maya. So, memungkinkan untuk mendapatkan koreksi.

Catatan ini kubagi menjadi 3 bagian berdasarkan urutan waktu. Selamat membaca.

***

Jumat, 22 Agustus 2014

Pada jelang tengah hari aku meninggalkan Denpasar, menuju Ubud. Berbagai detil Bali yang unik langsung menyerbu dan menjejali bilik-bilik ingatanku. Dulu, pada dua kedatanganku ke Bali sebelumnya, sebagian besar detil itu luput dari pengamatanku. Kini beberapa hal tampak lebih jelas. Setiap bangunan memiliki Sanggah Pamerajan. Orang biasanya cukup menyingkatnya dengan Sanggah atau Merajan. Sanggah adalah sanggar yang artinya tempat suci; Pamerajan berasal dari praja yang artinya keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan merupakan tempat suci bagi sebuah keluarga. Di masa lalu, orang menyiapkan bentuk fisik sanggah sendiri, baik yang menggunakan material kayu maupun bangunan bersemen. Kini, sanggah banyak dijual dalam bentuk siap pakai. Bukan hanya sanggah kecil (Sanggah Pamerajan Alit, milik satu keluarga kecil) namun juga sanggah yang relatif besar, baik untuk satu garus keturunan (Sanggah Pamerajan Dadia) maupun untuk satu wilayah desa (Sanggah Pamerajan Panti). Sanggah ‘siap pakai’ ini bisa dijumpai di banyak wilayah di Bali, pada sepanjang tepi jalan.

Lalu tibalah kami pada sebuah pura, di Desa Kapal. Kunjungan pertama ke sebuah pura sebagai ucapan ‘kulonuwun’. Sebatang pohon perkasa membalas sapaku dalam keheningan. Bunganya yang berwarna oranye mengingatkanku pada bunga soka. Barangkali semacam soka raksasa. Dari batang dan akarnya yang berpilin kuat sempurna membuatku membayangnya pohon ini sudah ratusan tahun meneduhi Pura Sada Kapal.

[caption id="" align="alignnone" width="395" caption="Pura Purusada Kapal"][/caption]

Pura Sada termasuk salah satu cagar budaya di Bali. Namun tampaknya tidak mendapat cukup banyak kunjungan dibandingkan pura lainnya. Pura Sada atau sering disebut juga sebagai Puru Sada ini terletak di Banjar Pemebetan, Desa Kapal, Kecamatan Mengwi. Sekilas lintas langsung terlihat sejumlah kemiripan dari pura ini dengan bangunan candi di Jawa Timur. Penekun lontar di desa ini menyebutkan tahun pembangunan pura ini adalah 830. Namun catatan lain menyebutkan, pura ini dibangun Raja Mengwi pada sekitar abad 18. Dibangun sebagai penghormatan terhadap leluhur keluarga kerajaan yakni Prabu Jayengrat.

Seperti pura pada umumnya, Pura Sada dibagi atas tiga halaman, yaitu jabaan (halaman luar/kanistha), jaba tengah (halaman tengah/madhya), dan jeroan (halaman dalam/utama). Pada pura-pura kecil sering ditemukan halaman luar dan tengah digabung menjadi satu, sehingga pura itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu halaman luar dan halaman dalam. Pura Sada termasuk pura yang cukup besar. Masing-masing halaman pura dibatasi oleh tembok keli1ing dengan pintu masuk berbentuk candi bentar yang terletak antara halaman luar dengan halaman tengah, dan kori agung atau candi kurung sebagai penghubung halaman tengah dengan halaman dalam. Pintu yang terbuka candi bentar menandakan keterbukaan terhadap umat yang akan melangsungkan ibadat. Namun semua hal duniawi harus ditanggalkan begitu memasuki halaman tengah dan akan memasuki halaman dalam. Ini ditandai dengan pintu yang tertutup pada candi kurung.

Pada sejumlah pura, tak semua pengunjung –dalam hal ini wisatawan- diperbolehkan memasuki halaman dalam. Namun di Pura Sada pengunjung diijinkan masuk, mencermati detil candi, maupun sekedar mengambil gambar. Kecuali barangkali saat upacara berlangsung. Pura Sada bisajadi tak banyak dimasukkan dalam agenda paket perjalanan wisata. Namun bagi yang menyukai seluk beluk terkait sejarah, Pura Sada bisa dijadikan salah satu tujuan. Dari Denpasar lokasi Pura Sada adalah sebelum Taman Ayun yang lebih kerap dijadikan tujuan wisata. Dan taman inilah yang kemudian juga menjadi tujuan kunjunganku berikutnya.

Pura Taman Ayun terletak dalam satu jalur perjalanan menuju Ubud. Masih di kecamatan yang sama dengan Pura Purus Sada, Mengwi. Persisnya di Desa Mengwi, Kabupaten Badung, sekitar 18 km barat laut Denpasar. Taman Ayun dapat diartikan sebagai taman yang indah. Pura ini dibangun pada abad 1634 oleh raja Mengwi saat itu, I Gusti Agung Anom. Pura Taman Ayun merupakan Pura lbu (Paibon) bagi kerajaan Mengwi. Piodalan pura ini dilangsungkan pada setiap enam bulan sekali tepatnya pada ‘Selasa Kliwon Medangsia’ (berdasarkan perhitungan tahun Saka). Seluruh masyarakat Mengwi akan merayakan piodalan selama beberapa hari memuja Tuhan dengan segala manifestasinya.

[caption id="" align="alignnone" width="395" caption="Taman Ayun Mengwi"]

Taman Ayun Mengwi

[/caption] Pura Taman Ayun terdiri atas 4 halaman yang berbeda; halaman satu berbeda ketinggian dengan halaman lainnya. Halaman pertama yang disebut Jaba bisa dicapai hanya dengan melewati satu-satunya jembatan yang berada di sisi kolam dan pintu gerbang. Sebuah tugu kecil ada di sisi kiri dan sebuah bangunan luas yang disebut wantilan ada di sisi kanan. Tempat ini sering diadakan sabungan ayam saat ada upacara. Tapi mataku langsung tertumbuk pada sosok yang melenggang di tengah jalan. Meooooong :)

[caption id="" align="alignnone" width="265" caption="Meong Taman Ayun"]

Meong Taman Ayun

[/caption] Tiga halaman dari pura ini melambangkan tiga tingkat kosmologi dunia, dari yang paling bawah adalah tempat atau dunianya manusia, ke tingkat yang lebih suci yaitu tempat bersemayamnya para dewata, serta yang terakhir melambangkan sorga tempat bertahtanya Sang Hyang. Aku tak mengunjungi halaman-halaman berikutnya karena sedang dalam kondisi tertutup. Lantas kami memilih jalan memutari area pura. Dari samping kiri-belakang-kanan, masih bisa kulihat area keempat atau halaman terakhir yang merupakan area tertinggi dan yang paling suci. Beberapa meru tampak menjulang tinggi dengan berbagai ukuran dan bentuk. Pura ini sempat mengalami kehancuran pada peristiwa gempa bumi tahun 1917. Pemugaran baru dilakukan pada tahun 1950. Pada bagian belakang area pura terdapat lahan cukup besar dengan aneka macam pohon di dalamnya. Hal yang juga selalu menarik buatku adalah mencermati pepohonan. Selain kucing tentunya :D

Dan memang ya binatang satu ini...ketika manusia yang tak berkepentingan dilarang memasuki wilayah suci pura, mereka dengan leluasa ada di area tersebut. Tampaknya memang mereka mengantongi password khusus.

[caption id="" align="alignnone" width="400" caption="Meong penghuni Pura Taman Ayun"]

Meong penghuni Pura Taman Ayun

[/caption] Meninggalkan Taman Ayun, perjalanan berlanjut melalui area persawahan. Sanggah juga dapat kita jumpai di setiap area sawah. Untuk doa dan persembahan tentunya. Inilah Bali, yang di mataku menarik pada setiap jengkal tanahnya. Selain pura yang telah berdiri ratusan tahun bisa dijumpai di cukup banyak lokasi, juga bangunan-bangunan baru yang menjadikan situs kuno itu sebagai acuan model dan membuatnya lestari. Tentunya itu merupakan pemandangan unik yang mengundang minat para wisatawan untuk menjadikan Bali sebagai salah satu tujuan wisata. Tak semata bangunan bersejarah, namun ritual religius yang masih dijalankan dan tradisi yang juga masih terjaga. Pada tiap pagi, siang, dan petang, kita bisa saksikan perempuan-perempuan Bali mengenakan kebaya dengan selendang mengikat pinggang. Termasuk persembahan pada sanggah-sanggah di area sawah. Sayangnya sedang tak kutemukan peristiwa itu. Penyajian persembahan ini pun bagi orang luar terlihat sebagai ritual unik. Belum lagi upacara adat yang digelar, baik dalam skala besar maupun kecil.

Upacara adat di Bali terdiri dari lima macam yadnya atau disebut Panca Yadnya. Kelima yadnya itu adalah Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Sebagai contoh, upacara Dewa Yadnya misalnya Purnama-Tilem, Pagerwesi, Tumpek, Hari Raya Saraswati, Galungan, Kuningan, dan lain-lain. Selain itu juga pada upacara pembangunan dan peresmian pura, dan hari raya pemujaan (sanggah) atau odalan. Pitra Yadnya seperti prosesi ngaben mulai dari meninggal hingga proses nyekah dan ngelinggihang. Orang-orang suci atau Rsi, Pendeta, atau Sulinggih memegang peranan penting dalam hubungannya dengan agama Hindu. Karena itu umat Hindu memberikan penghormatan melalui Rsi Yadnya. Sementara Manusia Yadnya merupakan upacara terkait hidup manusia, mulai dari pernikahan, kehamilan, kelahiran, tiga bulanan, 6 bulanan (otonan), potong gigi, dll. Sebelum melangsungkan keempat upacara di atas, ada upacara lain yang wajib dilakukan yakni Butha Yadnya. Selain untuk memohon ke hadapan Hyang Widhi agar diberi kekuatan lahir batin, juga untuk menyucikan dan menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang disebut bhuta kala. Jika semua upacara Panca Yadnya ini dilakukan dengan semestinya, hampir sepertiga dari waktu yang dimiliki masyarakat Bali adalah untuk aktivitas ritual. Beruntung pada perjalananku menuju Ubud, aku menemui salah satunya. Upacara perayaan 6 bulanan pura yang disebut piodalan.

Lewat tengah hari, dari jauh tampak beberapa perempuan mengenakan kebaya dan kain panjang. Masing-masing dengan banten di kepalanya. Mereka menuju sebuah pura yang berhias cukup meriah. Ya, pura di Desa Sayan, Kecamatan Ubud ini tengah melangsungkan piodalan. Sudah memasuki hari ketiga atau terakhir. Seorang ibu yang kujumpai bercerita dengan ramah. Setiap keluarga bisa datang kapan saja untuk memberikan persembahan. Namun ada juga yang dikoordinir oleh pemangku desa adat. Ia lalu menunjukkan arah, tempat dua banjar tengah mempersiapkan kelompok untuk memberikan persembahan secara bersama. Aku pun menuju ke arah yang ditunjuk, sekitar 200 meter dari pura. Dan pemandangan yang menakjubkan kujumpai di sana. Tak kurang dari 50 perempuan mengenakan kebaya warna putih dengan tali pinggang merah. Bisajadi pemandangan ini cukup banyak kita temukan di televisi dan media lain termasuk kartu pos yang dijajakan para bocah di hampir tiap kawasan wisata di Bali. Tapi percayalah, dengan melihat langsung kita bisa merasai aura yang berbeda. Terlebih jika kita bisa membuka percakapan dengan mereka yang terlibat.

[caption id="" align="alignnone" width="251" caption="Menuju Pura Sayan"]

Menuju Pura Sayan

[/caption]

Masyarakat Bali, setidaknya yang kujumpai, tampak tak canggung dengan orang baru. Mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan aneka macam turis yang hadir di negerinya. Mereka juga tak kikuk dengan kamera. Tak menghindar dan sebaliknya juga tak ambil posisi sebagai subjek gambar. Seorang ibu paruh baya tengah merapikan banten yang baru dibawanya. Seorang gadis kecil mengikutinya. “Adik juga sudah bisa bawa Banten,” sapaku pada ibu dan sang cucu. “Sudah, untuk yang ringan-ringan sudah biasa,” jawab sang nenek sambil tersenyum. Lantas ia pun mulai disibukkan dengan kedatangan perempuan-perempuan lain dengan banten masing-masing. Mereka meletakkan di atas pagar tembok di sisi jalan. Warna-warni. Tapi ada komponen yang sama dalam tiap susunan banten. Dalam ajaran Hindu, banten bukan semata sesaji. “Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” yang artinya Banten itu adalah buah pemikiran atau pemikiran yang lengkap dan bersih. Bentuk banten mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bakti dan kasih. Unsur yang ada dalam Banten merupakan simbol dari hal yang lebih dalam. Begitupun dengan tatanan Banten, memiliki makna yang tak sekadarnya.

[caption id="" align="alignnone" width="316" caption="Banten untuk Piodalan"]

Banten untuk Piodalan

[/caption] Banten pokok yang digunakan pada upacara adat Bali, Panca Yadnya adalah Pejati Banten. Pejati berasal bahasa Bali ‘jati’ yang artinya sungguh-sungguh atau benar-benar. Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati ke hadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya. Sebagai sarana bermohon untuk dipersaksikan dan diberikan keselamatan. Banten Pejati ini dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yakni Sanghyang Siwa, Sanghyang Brahma, Sanghyang Wisnu, dan Sanghyang Mahadewa.

Sekitar setengah jam persiapan, seorang laki-laki yang tampaknya mewakili desa adat, mengatur barisan. Beberapa perempuan tampak masih berdatangan dari berbagai arah. Terlambat. Dengan banten yang tentunya tak ringan, tapi bergegas masuk ke dalam barisan. Kelompok penabuh gamelan berada di bagian belakang barisan. Ketika semua peserta sudah terkumpul, rombongan ini pun diberangkatkan. Dengan banten di kepala, mereka berjalan teratur dalam satu lajur menuju pura. Gamelan Bali mengiringi langkah mereka. Indah dan khidmat.

[caption id="" align="alignnone" width="265" caption="Iring-iringan pembawa banten"]

Iring-iringan pembawa banten

[/caption]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline