Istilah outsourcing berasal dari bahasa inggris yang berarti “alih daya”. Pasal 1601 KHU Perdata yang mengatur tentang hubungan ketenagakerjaan, mengartikan outsourcing sebagai pemborongan kerja, yaitu suatu perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, dimana pihak yang satu (yang memborongkan pekerjaan) menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lain, atas pembayaran suatu uang tertentu sebagai harga pemborongan. Menurut Brown dan Wilson (2005), outsourcing didefinisikan sebagai tindakan memperoleh layanan atas suatu pekerjaan tertentu yang berasal dari pihak luar, atau dengan kata lainnya, pemberi kerja menyerahkan pekerjaan tertentu tersebut untuk dikerjakan oleh pihak lain dengan suatu perjanjian tertentu.
Outsourcing pada dasarnya adalah sebuah konsep yang dapat memberikan manfaat besar bagi perusahaan yang menggunakannya, seperti efisiensi biaya dan akses ke sumber daya yang lebih luas. Namun, masalah timbul ketika praktik outsourcing mengalami penyalahgunaan. Banyak perusahaan di masa sekarang yang mengambil jalan pintas memanfaatkan outsourcing untuk memangkas biaya operasional, namun dalam prosesnya, sering kali mengabaikan aspek pemenuhan hak-hak pekerja yang etis. Hal ini terutama terlihat dalam praktik penggajian pekerja kontrak dengan upah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan karyawan tetap yang melakukan pekerjaan yang serupa. Dampaknya adalah ketidaksetaraan dalam hal pendapatan dan perlakuan, yang menciptakan kesenjangan sosial yang semakin membesar di masyarakat. Penyalahgunaan ini dalam beberapa kasus juga dapat menghilangkan jaminan pekerjaan, menciptakan ketidakpastian dalam karir pekerja, dan seringkali mengakibatkan pemutusan hubungan kerja yang tidak adil.
Penyalahgunaan outsourcing dapat berdampak negatif pada kualitas produk dan layanan yang ditawarkan oleh perusahaan. Ketika perusahaan lebih fokus pada memotong biaya dengan menggunakan tenaga kerja murah, seringkali hal ini mengorbankan kualitas dan keandalan produk atau layanan yang mereka tawarkan. Akibatnya, konsumen atau pengguna menjadi korban dengan menerima produk atau layanan yang kurang memuaskan, sementara perusahaan mungkin mencapai keuntungan sementara. Dalam jangka panjang, praktik penyalahgunaan outsourcing ini dapat merusak reputasi perusahaan dan mengurangi kepercayaan konsumen.
Batasan kegiatan kerja yang dilakukan oleh pekerja outsourcing tertera dalam Pasal 66 Ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, di mana pekerja atau buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Selanjutnya, dalam perencanaan sumber daya outsourcing sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 220/MEN/X/2004, suatu perusahaan memiliki langkah krusial yang melibatkan klasifikasi pekerjaan utama dan pekerjaan penunjangnya dalam dokumen tertulis. Langkah ini diawali dengan melaporkan informasi terkait kepada instansi ketenagakerjaan setempat. Pembuatan dokumen tertulis ini memiliki beberapa alasan utama yang mendukung keberhasilan implementasi outsourcing yaitu Kepatuhan Terhadap Aturan Ketenagakerjaan; Acuan Manajemen dalam outsourcing; Media Sosialisasi bagi Pihak Pekerja; dan Mengurangi Risiko Perselisihan.
Mengutip dari Lumingas (2013), dalam perjanjian kerja tentang pekerja outsourcing yang dibuat secara tertulis antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja atau pengguna harus memuat beberapa aspek, yaitu:
- Pertama, jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa harus dijelaskan secara sejelas-jelasnya.
- Kedua, perlu ditegaskan bahwa hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan. Sehingga, perlindungan terhadap upah; kesejahteraan; syarat-syarat kerja; serta penyelesaian perselisihan menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
- Ketiga, perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh harus memberikan penegasan bahwa mereka bersedia menerima tanggung jawab tersebut.
Perhatian secara mendalam terhadap aspek-aspek ini dalam perjanjian kegiatan kerja oleh outsourcing dapat menciptakan landasan yang kuat untuk menjaga integritas praktik outsourcing serta melindungi hak-hak pekerja dan juga kepentingan konsumen.
Lebih lanjut, etika bisnis dalam konteks outsourcing sebagai sumber daya manusia—sebagaimana yang dikutip dari Komang Priambada (2008), harus melibatkan beberapa aspek penting sebagaimana berikut:
- Komitmen
Perusahaan pengguna layanan outsourcing harus menunjukkan komitmennya dalam menciptakan jalur karir yang jelas bagi para pekerja outsourcing yang mereka pekerjakan. Dalam hal ini, penting untuk mengintegrasikan status karyawan tenaga outsourcing sebagai bagian dari proses pra-pekerjaan di perusahaan pengguna, sehingga dapat memberikan peluang kepada pekerja outsourcing untuk memperoleh peningkatan jenjang karir menjadi pekerja tetap jika mereka memenuhi syarat. - Manajemen Kinerja
Manajemen kinerja memegang peranan penting dalam outsourcing sumber daya manusia dari perspektif hubungan kerja. Hal ini mengandung pengertian bahwa kinerja para pekerja outsourcing harus diukur dan dikelola dengan adil dan berkelanjutan. Perusahaan pengguna juga diharuskan melalukan kewajibannya seperti membayar biaya manajemen kepada perusahaan tenaga kerja yang bersangkutan. - Kejujuran
Kejujuran adalah prinsip etika bisnis yang tak terhindarkan, terutama dalam pengelolaan data-data penting pihak yang bekerja sama dengan perusahaan terkait—dalam hal ini ialah perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing. Ketika perusahaan mengutamakan kejujuran sebagai etika dalam manajemen sumber daya manusia, ini menciptakan dasar yang kuat untuk hubungan yang transparan dan saling percaya antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing.
Kasus Penyalahgunaan Tenaga Kerja Outsourcing
Salah satu kasus tentang pelanggaran terhadap penggunaan tenaga kerja outsourcing terjadi pada 2021 lalu, yang dilakukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). PLN diketahui mempekerjakan hampir 100.000 pekerja outsourcing di seluruh Indonesia, menjadikannya salah satu perusahaan dengan pekerja outsourcing terbesar. Dalam kasus pelanggaran terhadap pekerja outsourcing yang dilakukannya, Said Iqbal—Presiden Konfederasi Serikat Pekerja (KSPI)—menyebut PT PLN melakukan praktik perbudakan modern terhadap pekerja outsourcing dengan kebijakan yang tidak menjamin kesejahteraan para pekerja outsourcing. Terdapat lima indikasi perbudakan modern yang dikemukakan oleh Said Iqbal, antara lain:
- Tumpang Tindih Pekerjaan: PT PLN tidak memastikan kejelasan mengenai pekerjaan yang menjadi tanggung jawab pekerja outsourcing, sehingga terjadi tumpang tindih dalam pekerjaan yang diberikan.
- Pekerjaan melalui Vendor: Meskipun bekerja melalui vendor atau agen, pekerja outsourcing mendapatkan perintah kerja langsung dari direksi PLN, menunjukkan adanya kontrol langsung dari perusahaan induk.
- Kelebihan Jam Kerja yang Tidak Dibayarkan: Pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan tambahan, seperti pemasangan kabel melebihi jam kerja standar, tidak menerima pembayaran lembur untuk pekerjaan ekstra tersebut.
- Pekerjaan di Luar Kontrak: PLN memberikan pekerjaan kepada buruh outsourcing di luar kontrak dengan vendor tanpa memberikan kompensasi tambahan, dan kontrak tersebut dinilai tidak transparan terkait dengan upah, jam kerja, dan lembur.
- Pembayaran THR yang Tidak Sesuai Aturan: Pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pekerja outsourcing tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dengan aturan dalam 10-15 tahun terakhir. Selain itu, pembayaran oleh PLN juga tidak sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2021 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan; dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Akan tetapi, menurut Vice President Hubungan Masyarakat PLN, Arsyadany G. Akmalaputri, yang menyatakan bahwa pihak PLN telah mematuhi ketentuan yang berlaku sesuai dengan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan. Hal ini termasuk urusan THR kepada pekerja outsourcing. Dalam keterangan resminya, Arsyadany menyatakan perihal pembayaran THR, PLN memastikan telah memenuhi segala kewajiban yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Menurutnya, permasalahan THR dan pengupahan pekerja vendor merupakan ranah hubungan industrial antara pekerja vendor dengan perusahaan pekerja. Artinya, hal ini bukan menjadi urusan PLN.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik outsourcing memiliki dampak positif dalam efisiensi biaya dan akses ke sumber daya yang lebih luas bagi perusahaan. Namun, penyalahgunaan praktik outsourcing dapat menimbulkan berbagai masalah, terutama terkait dengan hak-hak pekerja dan kualitas produk atau layanan yang ditawarkan. Kasus pelanggaran yang dilakukan oleh PT PLN menunjukkan bahwa perlindungan terhadap pekerja outsourcing harus diperhatikan secara serius untuk mencegah ketidaksetaraan dan penyalahgunaan.