Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi dalam Cengkraman Kartel Politik Pilkada 2024

Diperbarui: 22 Agustus 2024   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: Mindset Institute

Menjelang Pilkada 2024, Indonesia berada di titik penting dalam perjalanan demokrasinya. Demokrasi, yang seharusnya memberi rakyat kekuatan untuk memilih pemimpin sesuai dengan keinginan mereka, kini menghadapi ancaman serius dari praktik politik yang merusak makna sejatinya. Fenomena kartel politik yang menguasai proses demokrasi membuat rakyat kehilangan hak untuk memilih pemimpin yang autentik, terutama dalam konteks Pilkada mendatang.

Demokrasi yang diharapkan berlandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila---kesetaraan dan keadilan---seharusnya menempatkan kedaulatan di tangan rakyat dan memberikan hak kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam menentukan arah bangsa. Namun, kenyataannya, praktik-praktik politik saat ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai luhur tersebut. Demokrasi yang ideal seharusnya memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih tanpa adanya paksaan atau tekanan, serta memperkuat posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Di dalam bingkai Pancasila, prinsip kesetaraan harus dihormati, di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam proses politik. Namun, saat ini, demokrasi Indonesia menghadapi tantangan besar akibat dominasi kartel politik yang mengendalikan partai-partai politik, membuat rakyat kesulitan menentukan calon pemimpin yang benar-benar diinginkan. Partai politik, yang seharusnya menjadi instrumen demokrasi, seringkali dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan masyarakat luas.

Dominasi kartel politik telah menyebabkan distorsi dalam proses demokrasi. Rakyat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin dengan rekam jejak, prestasi, dan kemampuan manajerial yang baik. Sebaliknya, pemimpin yang muncul seringkali lebih dikenal karena citra media daripada kualitas kepemimpinan yang sebenarnya. Akibatnya, esensi demokrasi sebagai alat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tergerus. Ketika kartel politik mengatur segala hal untuk mempertahankan kekuasaan, arah dan tujuan demokrasi menjadi kabur.

Demokrasi sejati tercermin ketika rakyat memiliki kemampuan untuk menentukan pemimpin berdasarkan pertimbangan rasional, bukan karena tekanan atau pengaruh dari kekuatan tertentu. Senada dengan pernyataan Megawati Soekarnoputri pada peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79, rakyat harus diberikan hak untuk memilih pemimpin sesuai dengan kehendak mereka, bukan yang dipaksakan oleh kekuatan politik tertentu. Demokrasi harus memberi kebebasan penuh kepada rakyat dalam menentukan pemimpin mereka. Memaksakan calon pemimpin yang tidak mumpuni merupakan pengkhianatan terhadap esensi demokrasi itu sendiri.

Politik seharusnya menjadi alat untuk membangun peradaban, bukan sekadar merebut kekuasaan. Demokrasi Pancasila harus menjadi pedoman dalam berpikir, bertindak, dan berpolitik, dengan menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, bukan pada partai atau individu yang membeli partai untuk kepentingan politik pribadi. Dalam konteks ini, kualitas demokrasi menjadi sangat penting.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu memberikan pelajaran penting tentang bagaimana membangun demokrasi yang kreatif dan partisipatif. Demokrasi yang sehat adalah yang mengutamakan partisipasi rakyat, di mana pilihan mereka dihargai dan diakomodasi, bukan diabaikan atau dimanipulasi.

Saat ini, partai-partai politik memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan mereka tidak terjebak dalam politik kartel yang hanya menguntungkan segelintir elite. Sebaliknya, mereka harus berfungsi sebagai pelayan publik sejati yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Realitas politik Indonesia saat ini menunjukkan bagaimana kartel politik bisa menguasai demokrasi dengan menghalangi munculnya calon-calon terbaik dan memanipulasi proses demokrasi untuk kepentingan elite. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, fenomena pembelian tiket oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) menggambarkan betapa serius ancaman terhadap demokrasi kita.

Ketika partai-partai politik lebih mementingkan keuntungan pragmatis dan kekuasaan daripada kehendak rakyat, esensi demokrasi semakin terkikis. Pemilih hanya diberikan calon yang terbatas, tanpa pilihan yang berarti. Ini tidak hanya menghina nalar demokrasi, tetapi juga merampas kedaulatan rakyat. Fenomena kartel politik adalah dampak langsung dari penerapan ambang batas yang tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline