Hari pertama pelarian kita, kuajak kau menikmati senja di peron stasiun kereta. Hanya ada kita berdua. Detik-detik terasa sangat lambat, sampai-sampai kita bisa melihat debu beterbangan, menari bersama angin yang gemulai itu.
"Kita mau ke mana?" tanyamu.
"Kau mau ke mana?" tanyaku.
Sama-sama tak memiliki jawaban, akhirnya kita terbahak-bahak bersama.
Matahari turun lebih cepat dari biasanya, mengintip resah dari belakang stasiun kereta. Dengan ragu kau menoleh ke belakang dan menyapa matahari itu. Ia pun buru-buru tenggelam karena malu.
Malam pun tiba. Sebuah cahaya kuning langsat berkilau-kilau dari kejauhan. Deru suara gesekan besi dan besi mendesing, perlahan kian terdengar jelas suaranya.
"Bersiaplah! Kereta sudah tiba!"
Kau lekas mengecek barang-barang bawaanmu: gaun putih, sepatu kaca, dan beberapa pakaian ganti yang serba putih. Sudah sejak dulu kau memang menyukai warna putih. Warna yang kau anggap sebagai pertanda kesucian, ketulusan dan tentu kebersihan.
"Kau tak bawa apa-apa?" tanyamu.
"Kau saja sudah cukup bagiku, An."