Lihat ke Halaman Asli

Dhedi R Ghazali

Saya hanya seorang penulis yang tidak terkenal.

Kesusatraan vs Kekuasaan

Diperbarui: 21 Maret 2016   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hilangnya Wijhi Thukul, dilarang beredarnya karya Pramoedya Ananta Toer juga kegelisahan Roestam Efendi adalah bagian dari sejarah antara kesusatraan melawan kekuasaan.

Alexsander Solshenistyn pernah berujar: "bagi sebuah negeri, mempunyai seorang penulis besar adalah seperti mempunyai sebuah pemerintahan yang lain." Senada dengannya, Roestam Efendi pernah menjawab pertanyaan Ajip Rosidi yang termaktub dalam Kapankah Kesusastraan Lahir?(1964): "saya menulis di zaman reaksi yang mahaganas, di bawah ancaman tangan besi Gobnor-Jenderal Foch ... sewaktu selentingan ucapan yang salah dapat membawa orang ke Boven Digul dan Tanah Merah, di masa rakyat penuh dibelukari oleh cecunguk-cecunguk dan mata-mata Belanda...."

Ya, begitulah. Mau tidak mau benturan antara kesusastraan dan kekuasaan pernah terjadi di negeri ini. Boleh jadi, sebuah karya sastra pada akhirnya--waktu itu--menjadi momok yang menakutkan dan dianulir dapat menggoyahkan kekuasaan. Lantas bagaimana di zaman sastra digital saat ini?

Kebebasan mengeluarkan pendapat telah mendapat 'tameng' berupa Undang-Undang. Kebebasan inilah yang pada akhirnya menciptakan jarak antara kesusastraan dan kekuasaan. Tak lagi sedekat zaman sebelum kemerdekaan ataupun juga zaman orde baru. Perkembangan sastra digital--bermunculannya penulis-penulis di media sosial--menjadi hal yang patut disyukuri oleh kaum penikmat ataupun pelaku sastra. Perkembangan kesusastraan menjadi lebih pesat karenanya. 'Kemlempeman' kekuasaan atas kesusastraan juga pada akhirnya menjadi pintu gerbang yang lebar untuk menyuarakan apa yang harus disuarakan tanpa takut di tembak mati, dihukum gantung, dipenjara ataupun dilenyapkan. Jika saja hubungan antara kekuasaan dan kesusastraan masih seperti dulu, barangkali penjara akan dipenuhi oleh penulis-penulis yang pada akhirnya menjadilan dinding penjara sebagai wahana untuk berkarya.

"Menulislah sebelum menulis menjadi hal yang menakutkan."

Yogya, 2016




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline