Lihat ke Halaman Asli

Dhedi R Ghazali

Saya hanya seorang penulis yang tidak terkenal.

S. Takdir Alisjahbana: Wilayah Utama Puisi Adalah Tubuh

Diperbarui: 5 Maret 2016   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sering ditemukan pertanyaan seperti ini: apakah puisi itu? Tentu pertanyaan tersebut adalah berbeda dengan pertanyaan matematika berapakah 1+1. Sebab, puisi bukanlah sebuah ilmu pasti yang dapat dijelaskan dengan angka-angka dan mempunyai jawaban mutlak. Dengan demikian, wajarlah jika setiap isi kepala akan mengartikan puisi dengan cara pandang yang berbeda-beda. Jawaban atas pertanyaan tersebut pun sudah barang tentu akan beragam. Hanya saja, kebanyakan orang—menurut beberapa diskusi yang saya simak tentang puisi di berbagai media sosial—mengartikan puisi sebagai suatu yang lahir dari hati, jiwa, batin, kalbu dan perasaan si penyair itu sendiri. Barangkali jawaban seperti ini menjadi jawaban yang ‘diplomatis’. Bagi saya pribadi, puisi jauh lebih dari tentang hati, jiwa, kalbu dan perasaan.

Salah satu penyair ternama yaitu S. Takdir Alisjhabana nampaknya menjadi orang yang mempunyai pandangan sama dengan jawaban di atas. Dalam sebuah buku berjudul Kebangkitan Puisi Baru Indonesia halaman 14, yang diterbitakan oleh Dian Rakjat, 1964, S. Takdir mengatakan bahwa wilayah pertama puisi adalah tubuh. Hal ini dapat dilihat dari penggalan paragraph di bawah ini:
“Segala perasaan yang tercurah di dalam kalbu berombak dan beralun melalui berjuta-juta jalan yang halus menemui seluruh tubuh; sampai kepada bagian badan yang sekecil-kecilnya menurut terayun dan terbuai dalam ombak dan alun perasaan itu dan dengan amat gaibnya terbayanglah ia ke dunia lahir pada perubahan detikan jantung, pada lekas lambatnya nafas, pada turun naiknya suara dan pada perubahan muka.”

Dari paragaraf inilah sedikit banyak bisa ditarik kesimpulan bahwa S.Takdir ingin mengatakan jika puisi adalah terlahir dari tubuh manusia— segala perasaan yang tercurah di dalam kalbu berombak dan beralun melalui berjuta-juta jalan yang halus menemui seluruh tubuh—tanpa adanya sebuah ‘mediasi’ atau juga pengendapan terhadapnya—dengan amat gaibnya terbayanglah ia ke dunia.

Di halaman lain dalam buku yang sama, S.Takdir juga mengatakan bahwa: salah satu cirri puisi adalah selarasnya bahasa dengan perasaan yang dicurahkan. Ia bisa diibaratkan sebagai pakaian yang basah melekat pada badan yang hidup, rapat melekap sehingga terbayang segala bentuk dan geraknya.
Beranjak dari perkataan-perkataan S.Takdir itulah pada akhirnya saya tergelitik untuk lebih menilisik jauh. Sebelumnya, akan saya paparkan pendapat Goenawan Mohamad dalam bukunya yang berjudul “Puisi dan Antipuisi”. Goenawan Mohammad mengangagap bahwa pendirian S.Takdir tersebut hanya sebatas menyentuh saja, tak memasuki sebuah dasar. Goenawan mengungkapkan bahwa apa yang dikatakan S.Takdir hanyalah sebatas sebuah pasase dalam tubuh yang ekstra simbolik. Dalam artian bahwa proses yang berlangsung dari tubuh ke dalam bahasa yang dikatakan S.Takdir adalah sebuah proses yang lurus dan langsung.

Dari pendapat tersebut, dapat saya tarik kesimpulan bahwa puisi terlahir tanpa adanya sebuah perenungan atau lebih suka saya katakan sebagai ‘proses pengendapan’. Di sinilah letak ketidaksepahaman saya dengan S.Takdir. Menurut kacamata buram ‘pemula’ seperti saya ini, puisi tidak boleh dilepaskan dari proses pengendapan. Pemilihan diksi(segi lingusitik) dan pembentukan rima(segi akustik) adalah dua hal yang tak selayaknya diacuhkan dalam pembentukan sebuah puisi. Bahkan Roman Jacobson pernah mengatakan: dalam bahasa puisi, bunyi menciptakan sesuatu yang menemani makna; bunyi adalah penanda. Inilah yang barangkali dilupakan oleh S.Takdir yaitu proses kelahiran puisi yang tidak bisa begitu saja terlahir dengan proses langsung dan lurus—melalui berjuta-juta jalan yang halus.

Selanjutnya akan saya kutip pemaparan dari Sapardi berikut ini:
"Kalau saudara sedang sangat marah, misalnya, maka itu tidak akan jadi. Saya saat menulis puisi Dongeng Marsinah itu dalam keadaan sangat marah makanya itu butuh waktu sampai tiga tahun untuk menyelesaikannya, bahkan sampai sekarang pun kalau saya membaca lagi puisi itu, saya masih marah dan ingin memperbaikinya. Kalau emosi tinggi jangan nulis, nanti pusisnya tanda pentung semua, siapa yang bisa baca? Tenangkan dulu perasaannya. Ajak bicara emosinya, 'hei, saya mau nulis dulu, kamu menyingkir dulu', jadi harus ada jarak antara penyair dan apa yang akan disyairkan. Namanya jarak estetis" kata Sapardi dalam workshop Festival Pembaca Indonesia 2015, Sabtu, 6 Desember 2015.

Pemaparan Sapardi tersebut tentu adalah sebuah kontradiksi dengan apa yang dipaparkan oleh S.Takdir. Secara tegas Sapardi mengatakan bahwa harus ada jarak estetis yaitu jarak antara penyair dengan apa yang disyairkan. Atau secara sederhana bisa saya simpulkan bahwa Sapardi menganjurkan agar penyair tidak menulis puisi dalam keadaan emosi dan perasaan yang sedang labil, karena dengan begitu puisi yang diciptkan tidak akan menjadi baik. Tentu baik atau tidak sebuah puisi adalah sebuah kerelatifan yang tidak bisa dipaksakan. Sejauh ini belum saya temukan patokan pasti bagaimana puisi bisa dikatakan baik atau tidak baik.
Pada akhirnya, tulisan ini hanyalah sebuah pemaparan yang dibekali sedikit referensi dan pengetahuan. Oleh sebab itu, semua saya kembalikan kepada pembaca mau bagaimana dan seperti apa mengartikan puisi. Toh puisi bukanlah sebuah ilmu pasti seperti matematika yang bisa dinilai dengan mutlak salah dan benarnya.

Teruslah berkarya! Salam Pena.

Yogya, 16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline