Lihat ke Halaman Asli

Dhedi R Ghazali

Saya hanya seorang penulis yang tidak terkenal.

Kaum Codot

Diperbarui: 9 Maret 2016   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kaum Codot"][/caption]

 

[caption caption="Kaum Codot"][/caption]Codot adalah seekor binatang yang saya ibaratkan sebagai pemakan derita. Barangkali sebuah pengibaratan ini adalah salah satu wujud manifestasi dari sebuah puisi berjudul “Busuk” karya Wijhi Thukul:

Busuk

derita sudah matang, bung
bahkan busuk
: tetap ditelan?

17 November 1996

Wijhi Thukul sendiri adalah salah satu maestro perlawanan atas rezim militeristik rezim Orde Barun lewat peluru berwujud kata-kata yang pada akhirnya ‘menghilangkan’ dirinya sendiri. Sebuah kalimat pendek “Hanya ada satu kata. Lawan!"—yang barangkali lebih dikenal oleh masyarakat daripada dirinya sendiri—menjadi bukti perlawanan dari seorang Wijhi Thukul. Puisi-puisinya adalah bentuk manifestasi dari kehidupannya sehari-hari, sebuah kebenaran yang selalu diyakininya.

Kembali ke dalam kaum codot. Dalam puisi berjudul “Busuk”, sebuah pertanyaan retoris menyembul keluar dengan tanda tanya yang besar: tetap ditelan? Jika yang diperkenankan menjawab adalah Kaum Codot: kaum marjinal, fakir miskin, orang pinggiran dll, maka sudah tentu jawabannya adalah “Ya”. Bukankah derita adalah makanan sehari-hari? Dan keringat adalah minuman segar yang menjadi pelepas dahaga.

Haruskah menyalahkan takdir atas busuknya derita yang ditelan oleh Kaum Codot? Bahwa sebenarnya tidak ada yang paling tersembunyi selain takdir itu sendiri. Hanya saja, sudah menjadi realita di negeri ini—sebuah negeri abu-abu, yang entah sudah benar merdeka atau belum—bahwa Kaum Codot adalah bagian dari mereka yang secara tidak langsung takdirnya dipegang oleh tangan-tangan kuasa.

Yang miskin tetap miskin, yang kaya semakin kaya. Hal inilah yang masih melekat kuat dalam takdir kaum codot, dibelenggu dalam sebuah tatanan “edan”—kapitalisme—monster kasat mata yang memakan mentah-mentah darah dan nanah mereka sampai kering. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat—eufimisme sistem demokrasi—hanyalah bualan dewa-dewa yang menjadi babu dari dewa-dewa di atasnya. Kaum codot adalah tidak lebih dari ‘ampas’ dari hasil produksi tatanan ‘gemblung’. Sekali gemblung, ya tetap gemblung!

Pada akhirnya sebuah pertanyaan retoris yang begitu miris harus saya tulis: sampai kapan kebusukan derita harus mereka telan? Barangkali hanya di tangan Tu(h)an jawaban yang pasti berada. Entah itu Tuhan-Tuhan yang menuhankan ataukah Tuhan yang dituhankan oleh mereka? Kalau sudah begini, Tuhan juga akan menjadi sesuatu hal yang ambigu. Ah, sudahlah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline