Setiap umat yang hidup sesuai dengan perintah agama akan menjunjung tinggi rasa perdamaian dan rasa persaudaraan ketika bermasyarakat. Termasuk dalam hal ini di agama Islam. Di Indonesia, Islam memiliki dua organisasi masyarakat terbesar, yakni NU dan Muhammadiyah.
Dalam (Kompas.com, 2022) disebutkan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada 31 Januari 1926 di Surabaya, sedangkan Muhammadiyah lebih dulu berdiri pada 18 November 1912 di Yogyakarta. Keberadaan dua organisasi tersebut tentunya tidak selalu diwarnai dengan perdamaian karena sejatinya masing-masing individu dalam organisasi, baik itu NU dan Muhammadiyah memiliki perbedaaan terkait dengan interpretasi suatu ajaran yang mereka terima. Misalnya dalam ajaran NU, pengikut organisasi ini akan membaca doa qunut saat salat subuh, sedangkan Muhammadiyah tidak.
Kemudian perihal salat tarawih, jika NU mengerjakan sebanyak 20 rakaat, maka Muhammadiyah hanya delapan rakaat. Lalu ketika salat eid hari raya, NU biasa mengerjakan salat di dalam masjid, sedangkan Muhammadiyah di lapangan. Selanjutnya untuk budaya tahlilan atau selamatan, pengikut NU biasanya melakukan hal tersebut dengan memanggil tetangga untuk berdoa bersama ketika acara syukuran kelahiran anak, atau meninggal dunia. Sedangkan pengikut Muhammadiyah tidak melakukan itu secara bersama-sama, melainkan sekedar 'mengirimkan' doa oleh masing-masing individu.
Tentunya tidak ada yang salah di antara perbedaan interpretasi ajaran agama bagi Nu dan Muhammadiyah, seperti yang dinyatakan dalam (Alhidayatillah & Sabiruddin, 2018) bahwa pada dasarnya, kedua organisasi Islam tersebut ingin mengenalkan Islam dan ajarannya kepada semua orang. Keduanya tetap menjadikan al-Qur'an dan Hadits sebagai landasannya. Maka dari itu disimpulkan bahwa keduanya memiliki esensi yang sama, namun terdapat perbedaan dalam eksekusinya, dalam arti lain tidak ada yang lebih unggul. Keduanya sama-sama benar dalam memahami agama, walaupun kerap kali perbedaan tadi memunculkan gesekan atau ketegangan antar organisasi. Padahal keduanya sama-sama memiliki cara dan jalan tersendiri untuk mencapai tujuan yang sama.
Interpretasi dalam Ritual Keagamaan Berdasarkan Pandangan Peter L. Berger
Dalam (Irfan, 2001) bahwasannya Peter L. Berger mengemukakan teorinya tentang social construction of reality sebagaimana yang tergambar dalam tiga kerangka teoritisnya, yakni yang pertama ada proses eksternalisasi sebagai suatu pencurahan kedirian manusia yang terus-menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya.
Jika dalam hal ini dikaitkan dengan organisasi masyarakat NU dan Muhammadiyah, masing-masing penganutnya telah melalui proses melihat realitas sosial, lalu mereka akan memahaminya sesuai dengan subjektivitas dan pemahaman diri. Itulah mengapa dalam implementasi ritual tata cara ibadah mereka kadang berbeda.
Contohnya ketika solat subuh berjamaah yang diimami oleh imam yang terbiasa menggunakan doa qunut, maka para jamaah sholat subuh akan mengikuti sang imam untuk membaca doa qunut pula, walaupun mungkin selama ini beberapa jamaah tidak pernah menggunakan doa qunut ketika sholat subuh. Sebenarnya tidak ada yang salah, masing-masing penganut NU dan Muhammadiyah memikiki stock of knowledge bagaimana makna dari doa qunut, apakah sebuah kewajiban, atau hanya sunnah. Hal tersebut juga tidak lebih dari implementasi memahami ajaran agama yang berbeda.
Sementara itu, proses konstruksi sosial selanjutnya dinamakan objektivasi, merupakan suatu proses transformasi yang inheren dalam setiap aktivitas manusia karena adanya kecenderungan usaha untuk selalu mempertahankan tatanan yang telah dibangun, yang fungsinya sebagai arah/orientasi bagi generasi baru. Durkheim pun mengatakan dalam (Gunawan, 2020) bahwa masyarakat bagian dari tatanan sosial yang hidup harmonis, masyarakat pada struktur sosial secara keseluruhan adalah realitas objektif dari masing-masing anggota.
Dalam tahap ini, ketika individu telah memahami dan memaknai sebuah realitas sosial, maka jadilah realitas tadi akan ada di luar individu dan menjadi kenyataan sosial. Dan setelah suatu realitas berada di luar individu, maka realitas tersebut dapat bersifat koersif atau memaksa individu untuk menaati realitas tadi.
Contohnya dalam hal penganut NU dan Muhammadiyah, ketika masing-masing interpretasi agama masuk ke dalam diri individu, maka hal tersebut akan membentuk individu sesuai dengan kenyataan yang terbentuk, di mana hal itu dapat terjadi karena adanya proses sosialisasi dari agen sosial contohnya keluarga yang berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai agama secara turun temurun. Selain itu dalam hal penentuan hari pertama ramadhan atau perayaan idul fitri, individu yang berasal dari keluarga NU cenderung akan mengikuti aturan yang dikeluarkan dari NU, bukan Muhammadiyah. Begitupun sebaliknya.