Ini merupakan perasaan moral dalam manusia, yang dengannya dia memutuskan mana yang baik dan jahat, dan mana yang menyetujui atau menyalahkan perbuatannya. Seseorang terikat untuk menaati hati nurani dalam semua perbuatannya. Oleh karenanya, dia harus dengan hati-hati menjaga agar hati nurani itu dipandu oleh prinsip-prinsip yang benar, yang bersifat mengajar, dan tidak mengandung prasangka atau dibengkokkan oleh cara berpikir yang menyesatkan, atau oleh motivasi-motivasi yang tidak murni.
Ada satu standar dalam Alkitab yang seharusnya menahannya tetap benar dan teguh. Akan tetapi sangat mungkin bagi manusia untuk berbuat salah secara teliti; dengan kata lain, hati nuraninya yang tidak diterangi bisa menyesatkan. Paulus memberikan sebuah ilustrasi (Kis. 26:9), "Aku sendiri pernah menyangka, bahwa aku harus keras bertindak menentang nama Yesus".
Wahyu yang turun di jalan menuju ke Damsyik mengubahkan keputusan hati nurani itu dan memberinya sebuah prinsip baru yang dengannya dia bertindak. Petrus berhati-hati terhadap gagasannya mengenai makanan dan hubungan dengan orang-orang bukan Yahudi. Sebuah mukjizat diperlukan untuk membuka matanya (Kis. 10:28). Para penyelidik barangkali teliti dalam menganiaya orang Protestan ; Calvin teliti ketika membakar Servetus, dan kaum Puritan teliti ketika menghukum mati para penyihir.
Tetapi sekarang kita tahu, dalam era kita yang lebih diterangi, kalau mereka itu salah. Bila seseorang merasa tidak pasti tentang jalan mana yang harus ditempuh, dia harus berdoa memohon petunjuk dan arah, dan harus memahami prinsip-prinsip yang Alkitab berikan atas hal-hal serupa, dan selanjutnya membiarkan hati nuraninya yang memutuskan. Dia akan diminta bertanggung jawab karena mengikuti hati nuraninya.
Hati nurani atau suara hati lebih bersifat subyektif, maksudnya bahwa hati nurani kita sangat dipengaruhi oleh "diri sendiri" (yaitu yang menurut "aku" baik atau buruk). Suara hati mencerminkan segala pengertian dan prasangka masing-masing individu, sehingga jelas merupakan "sesuatu yang bersumber pada diri sendiri". Dalam hal ini kita tidak boleh mengidentifikasikan dan mengidentikkan hati nurani dengan suara Allah.
Misalkan dari saya belajar dalam lingkungan sekitar bahwa kita tidak hanya tahu Allah atau Tuhan Yesus saja ataupun belajar sepihak tetapi tidak mengunakan hati nurani kita, dan banyak yang dari kita generasi remaja hanya mengetahui membaca dan mendengarkan. Mungkin mengenalkan kita bahwa firman Allah itu tidak hanya di tulis namun wahyu juga menjelaskan tentang sifat yang satu arah yaitu inisiatif Allah sendiri yang berkehendak dan jika tidak manusia juga tidak dapat mengenalnya.
Masih banyak orang yang berpendapat bahwa selama ini Alkitab hanya di tulis dengan naskah asli dan lainnya manusia yang menambahkan isi Alkitab tersebut namun disini jelaskan bahwa arti sebagai pekerjaan Allah melalui roh Kudus yang mengerakkan , menguasai dan memimpin orang -- orang yang di pilih untuk memberitakan firman Allah dengan tidak sembarangan karena dapat menjadi salah artikan kepada orang lain contohnya remaja sebagai generasi kita disini banyak remaja hanya mengikuti akal pikiran dan tidak mencampurkannya dengan hati nurani.
Orang yang memiliki hati nurani yang berkelas "Ilahi" tidak membutuhkan hukum atau peraturan untuk memiliki kelakuan yang baik. maka hati nurani belum tentu dapat selalu dipercaya. Belum tentu suara hati nurani sesuai dengan pertimbangan dan keputusan Allah, oleh sebab itu hati nurani harus tunduk pada otoritas Firman Allah dan pengadilan Allah.
Bagi orang pilihan Allah yang direncanakan Allah untuk sempurna, seseorang harus selalu mempertimbangkan kemungkinan kesalahan pada suara hati nuraninya. Menyadari hal ini, maka orang percaya tidak boleh berhenti dalam memperbaharui pikiran dan hatinya, sampai makin memiliki pengertian seperti pengertian Allah. Inilah yang disebut dengan hati nurani yang murni, yaitu keberadaan manusia batiniah yang tidak menyimpan niat kejahatan (Kis. 23:1; 24:16; 2Kor. 1:12).
Dari mana Allah itu ada Sebab dan penyebab Allah. Saya setuju dengan sang penulis tentang dia menjelaskan Allah itu sama dengan kita bahwa tidak menciptakan diriNya sendiri. Apabila Allah menciptakan diriNya sendiri maka Dia harus ada sebelum diriNya ada. Sebab Allah bukanlah suatu akibat.
Dia adalah kekal, Dia selalu ada, Dia tidak membutuhkan pertolongan diluar diriNya untuk membuatNya terus menerus ada. Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil dan bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaNya yang gagal. maha hadir bukan berarti hanya berkaitan dengan tempat dimana Allah berada, tetapi sejauh mana Allah berada ditempat itu.