Bagi banyak orang, bekerja lembur sering kali diartikan sebagai upaya ekstra yang menunjukkan komitmen terhadap pekerjaan.
Kita mungkin pernah mendengar rekan kerja yang dengan bangga menceritakan berapa banyak jam yang mereka habiskan di kantor setelah jam kerja.
Dalam konteks ini, lembur seolah menjadi simbol status, menandakan bahwa seseorang adalah "pekerja keras."
Budaya lembur telah menjadi bagian dari kehidupan profesional di banyak perusahaan, terutama di era persaingan bisnis yang semakin ketat.
Namun, apakah kita terjebak dalam persepsi yang salah tentang budaya lembur ini?
Memahami persepsi lembur
Persepsi positif terhadap lembur sering kali muncul dari norma sosial dan harapan di tempat kerja.
Di banyak perusahaan, lembur dianggap sebagai indikator kinerja yang baik. Karyawan yang sering lembur bisa dilihat sebagai pekerja keras yang berdedikasi, sementara mereka yang pulang tepat waktu mungkin dianggap kurang ambisius.
Namun, lembur terkadang bukan hanya hasil dari tuntutan perusahaan, tetapi juga merupakan keinginan karyawan itu sendiri.
Karyawan sering merasa harus lembur untuk menyelesaikan tugas yang sebenarnya bisa dikelola dalam jam kerja yang ditetapkan.
Dalam banyak kasus, lembur justru mencerminkan ketidakmampuan karyawan untuk menyelesaikan tugasnya dalam waktu yang diberikan.