Apakah kamu ingat saat pertama kali mencoba memasak? Atau mungkin saat harus mengurus anak untuk pertama kalinya?
Banyak di antara kita, termasuk saya, yang menghadapi momen-momen ini tanpa persiapan yang memadai.
Saya ingat pertama kali memasak kangkung dengan hasil yang tak terdefinisi baik bentuk maupun rasanya. Pengalaman pertama melahirkan, kebingungan karena tidak bisa membedong bayi, dan banyak situasi lain yang membuat kaget. Keterampilan-keterampilan ini sangatlah penting dan idealnya harus kita pelajari sejak dini.
Walaupun seiiring berjalannya waktu dengan belajar kita akan bisa, tetap saja lebih baik jika hal-hal tersebut telah dipersiapkan sejak awal.
Namun, mengapa kita lebih fokus pada pendidikan formal di sekolah dan mengabaikan hal-hal yang esensial dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengelola rumah tangga dan membina keluarga?
Pentingnya pendidikan kehidupan rumah tangga
Jika sekolah kurang memberikan perhatian pada pendidikan kehidupan rumah tangga, bukankah keluarga bisa mengisi kekosongan ini?
Sayangnya, tidak semua keluarga merasa nyaman atau terlatih untuk memberikan pendidikan tersebut. Orang tua mungkin merasa sibuk dengan pekerjaan atau merasa bahwa anak-anak akan belajar sendiri seiring waktu. Ada pula orang tua yang menganggap bahwa pendidikan rumah tangga adalah "urusan dewasa," dan anak-anak tidak perlu tahu terlalu dini.
Hal ini menyebabkan banyak anak muda yang masuk ke kehidupan dewasa tanpa keterampilan dasar yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan keluarga. Lalu, mengapa pendidikan kehidupan rumah tangga ini penting? Memahami bagaimana mengelola rumah tangga bukan hanya soal kemampuan individual. Ini adalah fondasi yang membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia.
Di sisi lain, keterampilan ini juga sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Masyarakat yang lebih mampu mengelola rumah tangga akan lebih stabil dan lebih produktif. Ketidaksiapan dalam mengelola rumah tangga juga sering kali berdampak langsung pada masalah-masalah sosial yang lebih besar.
Misalnya, tingginya angka perceraian dan KDRT sering dikaitkan dengan ketidakmampuan pasangan untuk bekerja sama dalam mengelola urusan rumah tangga. Ditambah lagi, tingginya budaya patriarki di Indonesia sering kali menjadi pemicu konflik, terutama ketika seorang suami enggan untuk bekerja sama dalam mengurus tugas-tugas rumah tangga.