Lihat ke Halaman Asli

Dhe Wie S

Kang Baca Tulis

Bidadari Tanpa Malaikat

Diperbarui: 26 September 2023   05:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Ajeng, istri yang senang berpenampilan sederhana, lembut dalam bertutur kata dan sangat menghormati suaminya, Aku. Bagiku, Dia istri shalihah, perhiasan duniaku, walaupun di mata orang lain Ajeng tidak lebih dari seorang perempuan ga buk.

Sepulang kerja aku memang hanya akan disambut oleh bidadari tanpa malaikat kecil. Pernikahan yang sudah memasuki tahun ke sepuluh ini, Allah belum juga mempercayakan seorang anak di dalam keluarga kecilku.

Aku tahu, Ajeng selalu merasa sedih dan seringkali merasa bersalah, karena belum bisa memberiku seorang keturunan yang datang dari rahimnya. Aku sehat begitu juga Ajeng. Serangkaian kesehatan pun telah kami lakukan. Waktu saja yang belum memihak pada kami. Ketika sudah datang rasa sedihnya sebagai seorang perempuan yang begitu merindukan kehadiran seorang anak, aku akan selalu menghibur; membesarkan hatinya.

"Mas, tadi aku diajak ibu-ibu komplek jenguk Bu Titi yang baru melahirkan anak ketiganya, lucu Mas, bayinya laki-laki, namanya Banyu Biru Putra Anggara," ucapnya padaku saat malam tiba.

"Oh iya? Nama yang panjang. Inshaa Allah, ya, sayang suatu saat nanti ibu-ibu di sini yang akan jenguk kamu ketika melahirkan anak pertama kita," Aku membelai lembut kepalanya, istri yang selalu harum dengan wewangian yang menyegarkan, membuatku betah berlama-lama berada disisinya.

Ada selaksa air mata yang ditahan, kami memang sudah sangat merindukan hadirnya makhluk kecil yang akan menghiasi hari-hari indah dalam rumah kami.

"Mas Tio, apa boleh aku meminta lagi? Barangkali dengan perempuan lain Mas akan punya keturunan, dan Ibu juga pasti akan senang, Mas," Ajeng berbicara dengan terbata.

"Kasih aku kesempatan kedua Mas, untuk bisa berbakti pada Suami dan juga Ibu. Izinkan aku memberikan kebahagiaan dengan melapangkan hatiku, supaya Mas Tio punya keturunan dari darah daging Mas sendiri," paparnya lebih panjang kali ini.

"Ajeng sayang, Istri Mas yang shalihah, Mas nggak akan keberatan kalau memang sampai ajal menjemput, kita belum dipercayakan Allah untuk punya anak dari rahimmu. Mas ikhlas tanpa mengurangi sedikit pun rasa cinta Mas buat Ajeng, Mas yang nggak akan rela jika harus menyakiti hatimu dengan menikahi perempuan lain,"

"Tolong, selalu kasih Mas juga kesempatan buat jadi imam di rumah ini dan imam di hatimu selamanya, tanpa membuat hatimu tersakiti oleh orang ketiga." Aku tak akan bosan menjawab penolakan untuk berpoligami.

"Soal Ibu, biar itu jadi urusan Mas, Inshaa Allah Ibu akan selalu mendukung apa pun keputusan anaknya," Kugenggam erat tangannya dan kubelai halus kepalanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline