"Iih, kamu umurnya berapa? Bajunya kok udah kaya emak-emak gitu. Baju mamanya dulu ya diturunin ke kamu."
"Anak kecil kok udah pake baju gedombrang gitu sih, udah kaya tante-tante aja."
"Kamu kan, masih kecil pake bajunya yang sesuai umur dong. Biar keliatan lucu."
Awal-awal kami pindah selalu saja ada komentar seperti itu, buatku. Karena sebagian anak-anak desa berpenampilan minim, masih anak kecil ini kok! Dalih mereka.
Namaku Maryam, Anak sulung yang baru menginjak di usia tujuh tahun. Penampilanku memang tampak berbeda dari kebanyakan anak seusiaku. Aku selalu saja jadi buah bibir oleh sebagian warga Desa Raos. Keseharianku masih seperti kebanyakan anak lain, yang jadi pembeda hanya di pakaian yang aku kenakan. Setiap keluar rumah untuk bermain aku sudah tidak ingin mengenakan celana pendek, bahkan atasan tanpa lengan, sudah enggan kupakai. Baju walaupun kaos, aku lebih suka memilih lengan panjang lengkap dengan kerudung.
"Maryam, main sepeda yuk, liat nih ... Sepeda baruku, yang kudapat dari ibu ___"
"Karena kamu rajin membantu... " aku menyela sambil berdendang. Kami pun tertawa.
"Baiklah, tunggu sebentar ya, Des, aku ganti celana panjang dulu," ucapku pada sahabatku yang bukan lain adalah tetangga sebelah rumah.
"Oke, jangan lama-lama, ya, soalnya aku mau di ajak pergi sama mami abis pulang dari ibadah, nanti," tutur Desli, temanku yang tak pernah mempermasalahkan, bahkan berkomentar soal cara pakaianku. Walaupun kami berbeda tapi kami sama-sama ciptaan Tuhan. Kata Mama, bermain memang harus pandai memilih teman, tapi bukan berarti membatasi, kamu main dengan siapa.
Setelah pamit, kami pun melajukan sepeda dengan riang sambil bersenandung. Hal yang biasa kami lakukan saat di hari minggu pagi. Berkeliling kampung, yang nantinya akan berhenti di lapangan bola di ujung jalan pertigaan desa ini. Lalu Desli mentraktirku jajan minuman dan aku mentraktir pisang goreng di warung Mak Ipeh!